Baru 59 Produk Indonesia Bersertifikat Indikasi Geografis
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai sekarang, Indonesia baru mempunyai sekitar 59 produk bersertifikat indikasi geografis. Jumlah ini dirasa masih kecil untuk Indonesia yang mempunyai potensi kekayaan alam besar.
Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan Kekayaan Intelektual Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Molan Tarigan, yang ditemui di sela-sela konferensi pers Bekraf HKI Run 2018, Jumat (20/4/2018) di Jakarta, menyebutkan, potensi produk yang layak mengantongi sertifikat indikasi geografis mencapai sekitar 1.000 produk.
Bekraf HKI Run 2018 adalah perlombaan lari sekaligus acara sosialisasi pentingnya hak kekayaan intelektual beserta perlindungannya. Kegiatan ini merupakan ide Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Bekraf HKI Run 2018 akan berlangsung Minggu, 29 April 2018. Kegiatan ini sekaligus memeriahkan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia yang jatuh pada 26 April 2018.
Mengacu pada UU No 15/2001 tentang Merek Pasal 56 dan 58, indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang. Tanda itu diperoleh karena faktor lingkungan geografis seperti alam, manusia, atau kombinasi keduanya. Faktor tersebut akhirnya memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Sifat sertifikat indikasi geografis berlaku komunal, bukan perseorangan.
Contoh produk yang telah mengantongi sertifikat indikasi geografis dari Ditjen Kekayaan Intelektual adalah kopi arabika Kintamani (Bali), kopi arabika Gayo (Aceh), lada putih Muntok (Bangka Belitung), dan beras adan Krayan (Kalimantan Timur).
”Kami mempunyai 33 kantor wilayah setingkat provinsi. Kami mengimbau dan malah mewajibkan mereka memetakan produk-produk yang layak mengantongi sertifikat indikasi geografis. Setidaknya, satu kantor wilayah memetakan satu produk,” ujar Molan.
Hasil pemetaan itu disarankan didaftarkan kepada Ditjen Kekayaan Intelektual agar mendapatkan sertifikat indikasi geografis. Dia memandang keberadaan sertifikat dapat meningkatkan nilai tambah produk dan juga kesejahteraan masyarakat sekitar.
Menurut Molan, sejumlah negara sudah memilih dan menetapkan kategori hak kekayaan intelektual yang dijadikan fokus kebijakan nasional. Sebagai contoh, Amerika Serikat fokus terhadap hak paten dan merek, Korea Selatan fokus pada hak paten, serta China fokus pada hak desain tata letak sirkuit terpadu.
”Kami telah memutuskan fokus pada indikasi geografis. Potensi produk alam ataupun bermaterial sumber daya alam Indonesia cukup besar dan memiliki keunikan yang tidak dimiliki wilayah di negara lain,” katanya.
Molan menceritakan, beberapa minggu lalu, pihaknya telah menandatangani kerja sama terkait perlindungan hak kekayaan intelektual dengan 22 bupati/wali kota di Nusa Tenggara Timur. Tujuan kerja sama adalah menggali produk yang layak mengantongi sertifikat indikasi geografis.
Salah satu produk yang dirasa potensial adalah buah avokad Bajawa. Avokad Bajawa dinilai mempunyai rasa enak, unik, dan kualitasnya sangat unggul. Keunggulannya bahkan disebut di atas buah avokad Australia yang kini ramai dibicarakan masyarakat Indonesia.