JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan dan komitmen pemerintah untuk mendorong Program Sejuta Rumah telah dirasakan pengembang. Namun, untuk mendorong pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, diperlukan dukungan pemerintah daerah.
”Pemerintah itu membuat kebijakan. Saat ini sebagian besar insentif di perumahan ini bagi konsumen. Bagi produsen hanya PPh (Pajak Penghasilan) 1 persen. Pemda juga masih memperlakukan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sama dengan rumah komersial,” kata Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata dalam diskusi ”Memperkuat Program Sejuta Rumah”, Kamis (19/4/2018), di Jakarta.
Menurut Soelaeman, berbeda dari beberapa negara lain, penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia melibatkan swasta. Namun, kebijakan yang memudahkan pengembang untuk mendorong penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah masih mengalami kendala.
Salah satunya adalah bunga kredit konstruksi yang tinggi, berkisar 12 persen sampai 13 persen. Di sisi lain, bantuan prasara dan sarana umum (PSU) khusus untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga belum merata, sementara mayoritas pengembang rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah menggantungkan usaha pada kredit dari perbankan.
”Kalau bunga murah mereka arus kasnya bisa lebih kuat. Kemarin ada masalah sedikit saja langsung bertumbangan,” kata Soelaeman.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan, komitmen pemerintah pusat untuk mendorong Program Sejuta Rumah telah ditunjukkan. Hal itu ditunjukkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
”Kalau komitmen pusat sudah jelas. Namun, sepertinya komitmen pemerintah daerah yang kurang. Pemda itu seperti raja-raja kecil yang bisa lebih galak daripada pemerintah pusat,” kata Junaidi.
Menurut Junaidi, dalam PP No 64/2016, banyak aturan untuk membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dihapus. Namun, banyak pemda yang belum mengadopsi peraturan tersebut ke dalam peraturan daerahnya. Hal itu menyulitkan pengembang rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena menambah beban biaya.
Direktur Operasi Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Nostra Tarigan mengatakan, pemerintah berusaha menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah dengan menyiapkan beberapa skema pembiayaan. Skema tersebut antara lain fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga (SSB), bantuan uang muka, hingga Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Tahun ini, menurut Nostra, untuk FLPP, total anggaran yang disiapkan sebesar Rp 6,48 triliun untuk mendanai hingga 60.625 rumah bersubsidi. Jumlah rumah yang didanai kemungkinan akan lebih besar karena PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) akan memasok dana murah bagi bank sehingga porsi pembiayaan pemerintah per unitnya bisa diturunkan.
Pada kesempatan itu, Business and Sales Development Department Head, Subsidized Mortgage Division Bank BTN, Budi Permana, mengatakan, adanya salah sasaran dalam penyaluran KPR subsidi disebabkan belum adanya data yang valid, sementara bank tidak mampu memeriksa satu per satu debitor. Oleh karena itu, diperlukan data yang akurat dan terintegrasi.