MATARAM, KOMPAS — Pemerintah memberikan insentif bagi usaha kecil dan menengah atau UKM dengan menurunkan tarif Pajak Penghasilan. Aturan baru diterapkan untuk memicu UKM disiplin dalam pembukuan.
Direktur Peraturan Perpajakan II Yunirwansyah mengatakan, terdapat batasan waktu untuk menggunakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen, yakni enam tahun untuk wajib pajak orang pribadi dan tiga tahun untuk wajib pajak badan.
”Ketentuan PPh final yang sebelumnya tidak terbatas waktu tidak sepenuhnya menguntungkan bagi usaha kecil dan menengah yang menjadi wajib pajak,” ujarnya di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (18/4/2018).
Sejumlah wajib pajak, kata Yunirwansyah, mengeluh karena tetap harus membayar pajak meski merugi. Tarif PPh final ditetapkan untuk mengakomodasi keluhan ini. Para wajib pajak UKM baru bakal diberikan kebebasan memilih untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan untuk omzet.
Wajib pajak yang memilih pencatatan akan dikenai tarif PPh final sebesar 0,5 persen per tahun, turun dari besaran sebelumnya, yakni 1 persen per tahun.
Sementara wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan akan terkena PPh dengan tarif yang berlaku secara umum, hanya selama terbukti dalam pembukuan usaha menghasilkan laba.
”Sebelum ada ketetapan ini, kami seolah berlaku tidak adil karena mau rugi atau untung, UKM tetap dipajaki. Itulah beda pengenaan PPh final dengan PPh secara umum,” ujarnya.
Instrumen dalam Undang-Undang Pajak adalah pembukuan, agar ada pertimbangan rugi dan laba dalam membayar pajak. Melalui tarif PPh final, pemerintah ingin mendorong agar UMKM belajar menerapkan pembukuan sehingga bisa menerapkan ketentuan PPh yang berlaku secara umum.
Pajak untuk usaha kecil dan menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Kategori usaha kecil dan menengah adalah usaha dengan peredaran bruto atau omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. Wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang tidak termasuk bentuk usaha tetap. Adapun PPh final untuk UKM berlaku sejak 2013.
Yunirwansyah berharap usaha kecil dan menengah dapat menyiapkan diri dengan ketentuan batas waktu tersebut. Pasalnya, dalam menghitung jumlah omzet terkena pajak sendiri sudah ada standar pembukuan untuk UMKM dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, sejalan dengan pemberlakuan peraturan pemerintah, pihaknya tengah menyelesaikan peraturan menteri keuangan tentang skema pembayaran pajak untuk e-dagang.
”Jelas ketentuan pajak UKM harus sinkron dengan peraturan tentang e-commerce (e-dagang) karena banyak di antara pelaku e-dagang adalah UKM,” ujar Yoga.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat pada 2017 terdapat sekitar 1,4 juta wajib pajak untuk usaha kecil dan menengah, dengan rincian 1,3 juta wajib pajak orang pribadi dan 205.000 wajib pajak badan. Penerimaan pajak dari orang pribadi mencapai Rp 3,2 triliun, sementara penerimaan pajak dari badan mencapai Rp 2,5 triliun.