Rentetan kecelakaan konstruksi yang belakangan terjadi telah mengagetkan publik. Keprihatinan mendalam disuarakan karena tidak hanya telah terjadi kelalaian, tetapi juga diduga ditemukan adanya unsur kesengajaan. Sebuah tindakan koruptif dan membahayakan.
Kini dunia konstruksi kembali jadi sorotan. Jembatan Cincin Lama atau Jembatan Babat Widang yang melintas di atas Sungai Bengawan Solo di Kabupaten Tuban ambruk. Di Sulawesi Utara, dalam selang waktu yang tidak lama, sebuah jalan lintas atas (overpass) Tumaluntung di atas Jalan Tol Manado-Bitung yang masih dalam tahap konstruksi runtuh. Demikian pula terjadi insiden rebahnya struktur penyangga jembatan di proyek Tol Lampung Tengah di ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar.
Masing-masing insiden memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda. Meski demikian, bukan berarti tidak ada benang merahnya. Tanda tanya dilontarkan dan bermuara pada satu pertanyaan, sejauh mana keselamatan dijamin?
Pada kasus ambruknya bentang ketiga Jembatan Babat Widang, disinyalir penyebabnya adalah beban yang ditanggung jembatan melebihi kapasitas jembatan. Dari tiga truk yang lewat saat insiden terjadi, dua di antaranya bermuatan pasir dan limbah smelter, saling menyalip.
Akibatnya, ketiga kendaraan berada di satu titik di ujung bentang tiga dari Jembatan Cincin Lama. Beban tiga truk itu diperkirakan mencapai 130 ton. Jauh melebihi kekuatan jembatan yang hanya mampu menahan 40 ton dengan toleransi beban maksimal 70 ton.
Sebuah insiden di dunia konstruksi akan terkait dengan hal atau faktor lain. Misalnya, rentetan kecelakaan konstruksi yang terjadi beberapa waktu lalu memuncak pada moratorium pekerjaan layang untuk seluruh proyek infrastruktur di Indonesia. Sebab, kebanyakan kecelakaan terjadi di konstruksi layang. Prosedur operasi dan keselamatan di konstruksi layang pun dievaluasi dan diperbaiki.
Sementara insiden ambruknya Jembatan Babat Widang sebenarnya membuka kembali masalah klasik, yakni tak sedikit truk dengan muatan berlebih. Biasanya, muatan berlebih dikaitkan dengan jalan berlubang atau kondisi jalan rusak. Kini, insiden di Jembatan Babat Widang kembali membuka mata. Ancaman terjadinya kecelakaan serupa mungkin terjadi selama akar masalah tersebut tidak diselesaikan.
Sebenarnya, kaitan muatan berlebih di truk dengan konstruksi jalan dan jembatan sudah lama digaungkan. Salah satunya adalah kasus munculnya retakan di Jembatan Cisomang di ruas Tol Purbaleunyi. Selain faktor tanah lunak di sekitar jembatan, beban berlebih dari kendaraan truk juga dituding menjadi penyebabnya.
Di jalur pantai utara Jawa, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencoba mengukur beban kendaraan yang lewat. Sebuah alat timbang atau pengukur beban bergerak atau weigh in motion dipasang di sebuah jembatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Hasilnya, sekitar 60 persen kendaraan jenis truk mengangkut beban melebihi kapasitas.
Melihat fakta-fakta tersebut, tanpa menangani masalah muatan berlebih disertai penegakan hukum, potensi terjadinya insiden jembatan ambruk dapat terulang kembali. Jika dalam kecelakaan konstruksi bisa jadi ada unsur kelalaian, dalam insiden ambruknya Jembatan Babat Widang terjadi karena pembiaran yang berlarut-larut.
Oleh karena itu, fungsi jembatan timbang mesti diarahkan untuk mengontrol muatan truk, bukan menambah pendapatan asli daerah (PAD). Jika muatan berlebih, maka bentuk hukumannya adalah muatan mesti diturunkan sebagian, bukan denda. Angkutan logistik atau barang pun mesti didorong menggunakan moda transportasi laut dan kereta. Apalagi di Jawa, 90 persen barang diangkut melalui darat.
Ambruknya Jembatan Babat Widang menjadi pembelajaran dan momentum perbaikan. Setiap konstruksi memiliki batasnya masing-masing. Jika melebihi batas itu, celaka akibatnya. Yang dirugikan tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat pengguna jalan. Jangan sampai keselamatan digadaikan. (Norbertus Arya Dwiangga)