JAKARTA, KOMPAS - Pakan ikan dari magot yang bersumber dari sampah organik terus dikembangkan. Inovasi teknologi pakan untuk menghasilkan pakan ikan alternatif itu bertujuan menekan biaya pakan dan mengurangi sampah organik.
Kepala Pusat Riset Perikanan (Puriskan) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Toni Ruchimat, akhir pekan lalu, mengemukakan, pengembangan pakan ikan alternatif dari magot menggunakan sistem biokonversi sampah organik antara lain diterapkan oleh Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Magot adalah belatung untuk pakan ikan.
Terkait itu, teknologi pakan ikan dari magot sedang diaplikasikan sebagai pakan ikan hias dan ikan konsumsi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Penandatanganan kerja sama riset ikan air tawar dilakukan Puriskan dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Dunia Air Tawar TMII pada tanggal 21 April 2018.
Teknologi tidak akan besar manfaatnya bila tidak sampai kepada penggunanya. Dengan adanya sinergi ini, kami berharap menjadi salah satu cara mempercepat transformasi teknologi.
Menurut Toni, pengembangan magot sebagai pakan ikan alternatif merupakan terobosan yang sangat penting, karena teknologi ini dapat mengatasi dua masalah sekaligus, yaitu mengurangi biaya pakan dan jumlah sampah, khususnya sampah organik. Tahun 2016, produksi sampah Indonesia mencapai 65 juta ton per hari, 60 persennya organik.
Pengembangan magot dengan media sampah organik telah diterapkan antara lain di Kota Depok. Transformasi teknologi dipercepat dengan cara aplikasi, desiminasi, edukasi, dan rekreasi khususnya dalam pengembangan teknologi magot sebagai pakan alternatif.
Ikan Patin
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing KKP Nilanto Perbowo, akhir pekan lalu, mengemukakan, komoditas ikan patin kian diminati pasar ekspor. Pemerintah kini fokus menggarap komoditas patin dari hulu sampai hilir, mulai dari pembudidaya, asosiasi, dan logistik. Dalam waktu dekat diharapkan komoditas patin asal Indonesia dapat masuk ke pasar Saudi Arabia dan jadi menu masakan utama jemaah haji Indonesia.
Saat ini, produksi patin di terus meningkat sejalan dengan tumbuhnya sentra-sentra produksi patin, terutama di Sumatera dan Jawa. Sentra produksi patin terutama di Riau, Lampung, dan Kalimantan.
Dari data Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI), produksi patin tergolong unggul dengan produktivitas 200-400 ton per hektar (ha). Jumlah itu hampir menyamai produktivitas patin Vietnam, yakni 300-500 ton per ha.
Produksi patin nasional 250.000-300.000 ton per tahun, 85 persen di antaranya dalam bentuk segar. Sementara itu, produksi patin olahan dalam bentuk irisan daging rata-rata 700 ton per bulan, naik dari tahun 2010 yang 5 ton per bulan.(LKT)