WASHINGTON DC, KOMPAS — Kawasan Asia Pasifik menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global, dengan menyumbang sekitar 60 persen perekonomian dunia. Tahun ini dan tahun depan, pertumbuhan ekonomi regional Asia Pasifik diperkirakan sebesar 5,6 persen.
Pertumbuhan ekonomi sebesar itu didukung permintaan eksternal dan perdagangan. Kondisi finansial juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi.
”Asia menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari populasi yang menua, pertumbuhan produktivitas yang melambat, hingga revolusi digital yang membawa kesempatan besar selain risiko,” kata Direktur Departemen Asia Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) Changyong Rhee dalam jumpa pers di Pertemuan Musim Semi IMF-Bank Dunia di Washington DC, Amerika Serikat, akhir pekan lalu.
Pekan lalu, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengingatkan, matahari bersinar terang. Namun, ada risiko akumulasi awan hitam terbentuk. Oleh karena itu, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk ”memperbaiki atap” sebelum hujan besar terjadi. Caranya, dengan memperkuat bantalan fiskal menghadapi risiko perekonomian dan mengimplementasikan reformasi.
Changyong Rhee kembali mengingatkan soal langkah "memperbaiki atap" itu. ”Sekarang merupakan saat yang tepat karena proyeksi ekonomi Asia Pasifik masih akan kuat sehingga meningkatkan kesempatan untuk menambah bantalan tersebut,” ujarnya.
Ekspor dan investasi
Perihal Indonesia, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2018 dan 5,5 persen pada 2019. Pertumbuhan ini ditopang ekspor yang tumbuh tinggi dan investasi. Inflasi Indonesia tahun ini diproyeksikan 3 persen, sedangkan defisit transaksi berjalan sekitar 2 persen dari produk domestik bruto (PDB) per akhir 2018.
Deputi Direktur Departemen Asia Pasifik IMF Kenneth H Kang memaparkan, proyeksi positif terhadap pertumbuhan PDB Indonesia tersebut juga diwarnai dengan risiko. Risiko itu antara lain pembalikan dana atau keluarnya dana dari pasar keuangan Indonesia, pertumbuhan ekonomi China yang melambat, serta kondisi geopolitik dan tekanan perdagangan global. China adalah salah satu negara tujuan ekspor terbesar dari Indonesia.
”Ada risiko domestik berupa pendapatan pajak yang tak tercapai dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas bisa lebih kuat daripada yang diperkirakan,” ucap Kang.
Pendapatan pajak yang saat ini rata-rata sebesar 10 persen dari PDB, menurut Kang, sangat rendah dibandingkan dengan standar. Oleh karena itu, bisa dilakukan berbagai upaya agar pendapatan pajak meningkat.
Secara terpisah, Eksekutif Direktur Grup Voting Asia Tenggara IMF Juda Agung menyebutkan, dalam jangka panjang, kapasitas Indonesia mesti ditingkatkan. Kapasitas ini untuk menjaga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Sejauh ini, indikator RI baik yang, antara lain, tecermin dari defisit transaksi berjalan serta utang yang terjaga.
Ekonom UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, dalam paparannya mengatakan, proyeksi UOB Indonesia terhadap pertumbuhan PDB RI tidak berubah, yakni 5,3 persen pada 2018. ”Implikasi langsung dari tekanan perdagangan antara AS dan China terhadap Indonesia minimal,” ujar Enrico.