JAKARTA, KOMPAS Direktorat Jenderal Pajak akan memfokuskan pemeriksaan pada wajib pajak berisiko tinggi. Pemeriksaan terhadap kelebihan bayar yang selama ini berkisar 40-50 persen dari total pemeriksaan akan diturunkan menjadi paling banyak 10 persen.
”Pemeriksaan terhadap yang lebih bayar selama ini mencapai 40-50 persen. Ke depan, akan diturunkan menjadi tinggal 10 persen atau kurang. Karena itu, pemeriksaan lebih banyak untuk pemeriksaan khusus,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama di Jakarta, Senin (23/4/2018).
Pemeriksaan khusus adalah pemeriksaan yang difokuskan pada wajib pajak berisiko tinggi, baik badan maupun orang. Hal ini akan didasarkan pada analisis data obyektif. Harapannya, langkah ini akan memberikan rasa keadilan kepada wajib pajak.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, pergeseran kebijakan pemeriksaan oleh DJP tersebut merupakan terobosan positif. Tantangannya adalah pada implementasi.
Salah satu yang krusial, Prastowo berpendapat, adalah pembentukan dua komite, yakni komite perencanaan pemeriksaan di kantor pusat dan kantor wilayah serta komite pengendalian mutu pemeriksaan. ”Harus dibuatkan prosedur standar operasi yang jelas sehingga kerjanya efektif, tidak sekadar formalitas,” kata Prastowo.
Ada baiknya, menurut Prastowo, komite melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta pakar dari perguruan tinggi. Ini penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan dan menjaga kredibilitas DJP sehingga kepercayaan wajib pajak meningkat. ”Dari sisi wajib pajak, yang sudah patuh tidak perlu khawatir. Sementara yang belum patuh sebaiknya berubah menjadi patuh. Bisa, misalnya, dengan cara pembetulan surat pemberitahuan pajak. Jika tidak, risikonya diperiksa,” kata Prastowo.
Mengacu pada paparan DJP tentang revitalisasi pemeriksaan, pergeseran fokus pemeriksaan ditujukan untuk meningkatkan keadilan serta kualitas dan tata kelola pemeriksaan. Hal ini ditempuh dengan tiga agenda.
Pemeriksaan rutin
Pertama adalah efisiensi alokasi pegawai pajak. Kebijakan restitusi dipercepat mengurangi kebutuhan auditor atau pemeriksa pajak untuk pemeriksaan rutin. Selanjutnya, pegawai difokuskan untuk memeriksa wajib pajak berisiko tinggi.
Agenda kedua adalah mitigasi wajib pajak berisiko tinggi. Caranya adalah dengan meningkatkan akurasi penentuan wajib pajak berisiko tinggi melalui penguatan analisis risiko serta penguatan tata kelola penentuan wajib pajak berisiko tinggi melalui pembentukan komite perencanaan pemeriksaan di kantor pusat dan kantor wilayah.
Agenda ketiga adalah peningkatan kualitas pemeriksaan. Caranya adalah pemeriksaan berbasis sistem teknologi informasi yang terintegrasi untuk seluruh proses pemeriksaan. Penguatan tata kelola pemeriksaan melalui pembentukan komite pengendalian mutu pemeriksaan juga perlu dilakukan. (LAS)