JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah diminta untuk terus fokus pada penyediaan angkutan umum dan tidak perlu tergesa-gesa membuat revisi mengenai undang-undang mengenai lalu lintas dan angkutan jalan. Munculnya sepeda motor yang marak digunakan sebagai angkutan umum tidak boleh menjadi alasan untuk mengubah undang-undang yang memperbolehkan sepeda motor bisa dijadikan angkutan umum.
"Tingkat keselamatan dari sepeda motor sangat rendah, terbukti lebih dari 60 persen kecelakaan lalu lintas telah melibatkan sepeda motor. Jika saat ini banyak unjuk rasa yang dilakukan oleh pengemudi ojek daring, bukan berarti pemerintah harus mengubah undang-undang angkutan lalu lintas dan angkutan jalan," demikian dikatakan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi di Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Pengamat transportasi Darmaningtyas juga mengatakan, pemerintah sebaiknya membiarkan keadaan ojek daring berkembang secara alami. "Pemerintah jangan ikut-ikutan. Lebih baik pemerintah fokus pada tugas pokoknya yakni menyediakan angkutan massal dengan baik," ujar Darmaningtyas.
Dia mengatakan, keriuhan mengenai ojek daring itu hanya terjadi di Jawa saja. Sementara di daerah lain, ojek daring tidak menjadi masalah. "Tidak mungkin pemerintah mengganti undang-undang hanya untuk memfasilitasi satu wilayah saja," tukas Darmaningtyas.
Tulus mengatakan, masyarakat jangan silau dengan keberadaan ojek daring sebagai sesuatu yang modern karena di dalam praktiknya, yang modern hanya teknologi yang digunakan. Sementara mengenai perilaku para pengemudinya sangat tidak modern. "Perilaku yang modern adalah yang patuh pada aturan lalu lintas, bukan melanggarnya dengan sadar. Aplikator sebagai pengatur ojek daring seharusnya bisa mendorong para mitra untuk menjadi pengemudi yang modern. Saat ini layanan ojek daring masih setingkat dengan ojek pangkalan," ujar Tulus.
Untuk mengurangi risiko kecelakaan, Tulus mengatakan aplikator bisa mengatur agar pengemudi bisa memiliki waktu untuk beristirahat, mematuhi aturan lalu lintas, dan meningkatkan layanan kepada penumpang. Salah satu caranya adalah dengan melakukan zonasi wilayah operasional ojek. Selama ini ojek boleh melayani penumpang dengan jarak yang jauh, sehingga pengemudi kelelahan. Jika sudah lelah, maka risiko kecelakaan akan membesar.
Mengenai tarif yang saat ini sedang dikeluhkan para pengemudi, Tulus mengatakan tarif harus ditetapkan dengan mengakomodir kepentingan konsumen, pengemudi, dan aplikator. Jadi tarif yang berlaku sekarang harus diaudit apakah memang sudah mengakomodir kepentingan masing-masing pihak. "Tuntutan tarif dari pengemudi sebesar Rp 4.000 per kilometer juga tidak masuk akal karena tarif taksi saja hanya Rp 3.500 per kilometer. Padahal tarif biaya operasional dan perawatannya jauh lebih mahal," ujar dia.
Tulus mengatakan, aplikator sebaiknya memaparkan komposisi penentu tarif. Tuntutan kenaikan tarif dari pengemudi bukan berarti harus menaikkan harga per kilometer untuk penumpang, melainkan bisa dengan memperkecil potongan terhadap pengemudi. "Selama ini potongan yang ditanggung pengemudi sebesar 20 persen. Bisa saja kenaikan imbal hasil kepada pengemudi dilakukan dengan mengurangi prosentase potongan," tegas Tulus. (ARN)