JAKARTA, KOMPAS --- Sebanyak 46 kontrak jual beli tenaga listrik energi terbarukan kesulitan mendapat pendanaan. Kontrak jual beli tersebut telah ditandatangani dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada 2017. Apabila sampai melewati batas waktu yang ditentukan, PLN akan memutus kontrak jual beli tersebut.
Sepanjang 2017, ada 70 kontrak jual beli tenaga listrik energi terbarukan yang ditandatangani. Kapasitas daya listrik dari 70 kontrak sebesar 1.214,16 megawatt yang seluruhnya bersumber dari energi terbarukan. Yang paling dominan adalah pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 754 megawatt atau sekitar 62 persen.
"Dari 70 kontrak tersebut, sebanyak tiga kontrak telah beroperasi komersial, 17 kontrak sedang konstruksi, empat kontrak prakonstruksi, dan 46 kontrak belum mendapat pendanaan dari perbankan," ujar Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN, Djoko Rahardjo Abu Manan, dalam workshop tentang peluang investasi pembangkit listrik energi terbarukan, Selasa (24/4/2018), di Jakarta.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, yang menjadi pembicara kunci, mengatakan, pendanaan atau pembiayaan tersebut sepenuhnya tanggung jawab pengembang. Menurut dia, pemerintah tak bisa disalahkan apabila pengembang itu tak mendapat sumber pendanaan.
"Pengembang yang lain bisa mendapat sumber pendanaan dari bank. Ada pula yang tidak. Terus, apa lantas ini salah pemerintah? Itu artinya, kan, ada yang bisa dipercaya bank dan ada yang tidak. Persoalan bonafiditas sebetulnya," ujar Arcandra.
Ditemui terpisah, Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, batas waktu mendapat pendanaan biasanya ditetapkan setahun lamanya setelah kontrak jual beli tenaga listrik ditandatangani. Apabila melewati batas yang ditentukan, PLN bisa memutuskan kontrak secara sepihak. Namun, ia mengaku tak hapal persis kapan batas waktu masing-masing kontrak tersebut untuk memperoleh jaminan pendanaan dari bank.
"Yang saya tahu, pengembang yang bonafid, kalau sudah kenal dengan Bank A, misalnya, ya gampang (mendapat pendanaan). Kalau dia (pengembang) pemula sekali, mungkin sulit (mendapat pendanaan)," kata Sofyan sesaat sebelum menghadiri rapat di Komisi VII DPR, di Jakarta.
Sofyan menambahkan, pengembang pembangkit listrik biasanya tidak pernah berdiri sendiri. Mereka mengajak pihak lain untuk berbisnis bersama. Biasanya, kata dia, ada negosiasi yang belum tuntas antarpihak tersebut, baik dari perbankan, rekanan investor, atau internal pengembang itu sendiri sehingga tak kunjung mendapat dukungan pendanaan perbankan.
Validitas data
Soal potensi energi terbarukan di Indonesia, Arcandra mempersoalkan validitas data-data yang selama ini banyak dikutip atau beredar di masyarakat. Menurut dia, perlu penghitungan ulang data yang cermat dan valid agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ia mencontohkan cadangan tenaga panas bumi di Indonesia yang disebut-sebut sebanyak 29,4 gigawatt.
"Apakah benar sebanyak itu? Sebab, ada yang masih berupa resource (sumber daya) sudah disebut sebagai reserve (cadangan terbukti). Padahal, perlu proses panjang dan kompleks untuk menaikkan status dari resource menjadi reserve," kata Arcandra.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian ESDM, Rida Mulyana, menambahkan, tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, antara lain ketergantungan pada teknologi tinggi dan pendanaan, serta infrastruktur pendukung yang terbatas, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur.
"Namun, pemerintah tetap berkomitmen terus mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target bauran sebanyak 23 persen di 2025 atau setara dengan daya terpasang 45 gigawatt," ucap Rida.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.