JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia berharap agar pelaku usaha yang memiliki kewajiban dalam bentuk valas dan importir mengedepankan pengelolaan risiko melalui lindung nilai. Mereka juga dapat memanfaatkan transaksi perdagangan internasional dengan negara-negara tertentu menggunakan mata uang lokal.
Adapun bank umum juga perlu melaksanakan kewajibannya untuk mengelola risiko valas dan kenaikan suku bunga acuan. Hal itu berlaku bagi bank umum yang melakukan transaksi structured product dengan nasabah dalam bentuk kombinasi instrumen derivatif dengan derivatif. Bank umum wajib meminta nasabah memberi agunan kas sebesar 10 persen dari nilai nasional transaksi.
Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsyah kepada Kompas, Rabu (25/4/2018), mengatakan, dunia usaha yang memiliki kewajiban valas dan importir sebaiknya melakukan lindung nilai. Ada sejumlah produk lindung nilai yang bisa diambil, yaitu plain vanila FX forward, FX swap, FX option, IRS, CCS, dan call spread option yang lebih efisien.
Saat ini, sudah ada 9 bank besar di Indonesia yang menawarkan produk FX call spread option dengan biaya yang sangat efisien. Adapun untuk mengatasi risiko kenaikan suku bunga, pelaku usaha bisa mengambil skema lindung nilai interest rate swap (CCS) dan cross currency swap (CCS).
”BI selalu menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, untuk menjaga kestabilannya diperlukan dukungan berbagai pihak untuk melakukan lindung nilai. Ini agar tidak seluruh kebutuhan valas membebani transaksi spot yang secara langsung memengaruhi kurs,” katanya.
Nanang menambahkan, kewajiban bank umum untuk meminta nasabah memberi agunan kas sebesar 10 persen dari nilai nasional transaksi juga perlu dilakukan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan POJK No 7/2017 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum.
Dengan aktifnya pelaku usaha melakukan lindung nilai, negara akan terbantu menjaga stabilitas kurs. Korporasi besar, termasuk BUMN besar, juga sudah melakukannya, tetapi baru sebatas memenuhi ketentuan kewajiban 25 persen dari net aset liabilitas valas.
BI mencatat, pada 2017, jumlah korporasi yang memiliki kewajiban valas dalam 0-3 bulan berjumlah 416 perusahaan. Korporasi yang memiliki kewajiban valas dalam 3-6 bulan berjumlah 223 perusahaan. Sementara yang memiliki kewajiban valas 0-3 bulan dan 3-6 bulan berjumlah 139 perusahaan.
BI juga terus mendorong pemanfaatan swap lindung nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Selain dollar AS, swap lindung nilai juga dalam bentuk yen, yuan, dan euro.
”BI, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand (BoT) juga telah menyepakati kerja sama penggunaan mata uang lokal (LCS) untuk transaksi dagang ketiga negara. Melalui kerja sama itu, ketiga negara tidak perlu menggunakan dollar AS, tetapi menggunakan rupiah, baht, dan ringgit,” kata Nanang.