Keterlibatan Swasta Terus Diupayakan
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan swasta ikut masuk ke sektor infrastruktur untuk mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah terus diupayakan. Skema kerja sama berupa konsesi terbatas disiapkan.
Melalui skema itu, swasta dapat mengelola infrastruktur yang telah dibangun pemerintah.
”Proyek yang sudah jadi itu akan kami berikan pengelolaan asetnya kepada swasta. Pihak swasta ini membeli hak untuk mengelola aset dan mereka harus memberikan kompensasi kepada pemerintah dalam bentuk pembayaran di depan. Pembayaran ini yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur baru lainnya,” kata Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian yang juga Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo.
Hal itu disampaikan dalam rangkaian diskusi Thee Kian Wie yang ketiga bertajuk ”Refleksi Kebijakan Infrastruktur di Indonesia: Evaluasi, Tantangan, dan Prospek”, Rabu (25/4/2018), di Jakarta.
Wahyu mengatakan, berkaca dari pengalaman negara lain, seperti Korea Selatan, pembangunan infrastruktur menjadi kunci memacu pertumbuhan ekonomi. Sementara kebutuhan dana untuk memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional (PSN) mencapai Rp 4.400 triliun. Dari jumlah itu, diharapkan sekitar Rp 2.600 triliun datang dari sektor swasta.
Selama ini telah dipetakan, tantangan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah masalah pembebasan lahan, penyiapan dokumen proyek agar swasta tertarik, dan pendanaan. Terkait dengan pendanaan proyek, pemerintah berupaya menarik sektor swasta melalui pemberian dukungan agar proyek layak secara finansial. Skema pembiayaan melalui ketersediaan layanan juga ditawarkan.
Kini, pemerintah tengah menyiapkan skema kerja sama dengan swasta berupa skema konsesi terbatas. Melalui skema itu, swasta dapat mengelola aset yang dibangun pemerintah yang berpotensi ditingkatkan pendapatannya. Terhadap skema baru tersebut, pemerintah terbuka terhadap investasi dari dalam negeri dan luar negeri.
”Kementerian Perhubungan sudah mengusulkan beberapa proyek bandara, seperti Bandara Hang Nadim, jadi proyek yang masih dikelola pemerintah. Namun, kami juga akan menjajaki bandara yang dikelola oleh Angkasa Pura. Tentu harus ada kesepakatan tingkat layanan yang harus disepakati antara swasta dan pemerintah,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, kendati terbuka terhadap swasta dari luar negeri, pengelolaan aset infrastruktur tersebut mesti melibatkan swasta dari dalam negeri. Dengan demikian, terjadi transfer pengetahuan dan teknologi. Pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden sebagai dasar skema konsesi terbatas. Saat ini, rancangan perpres tersebut telah masuk tahap finalisasi dan berada di Sekretariat Kabinet.
Dalam diskusi panel, peneliti dari Australian National University, Peter McCawley, mengatakan, sektor infrastruktur di negara-negara Asia dan Afrika terkait dengan banyak isu lain, seperti tata kelola, korupsi, hingga perdagangan. Namun, menurut McCawley, isu akumulasi kapital atau modal menjadi tantangan utama.
”Ada jurang yang besar antara kapital yang dibutuhkan dan kapital yang ada. Tantangannya adalah menciptakan modal,” kata McCawley.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Hidayat Amir mengatakan, saat ini merupakan momen yang tepat untuk membangun infrastruktur. Reformasi fiskal yang tengah dilakukan pemerintah memungkinkan hal itu, terutama setelah subsidi bahan bakar minyak bisa dialihkan untuk membangun infrastruktur.
”Itulah alasan infrastruktur yang dibangun adalah logistik dan energi. Alasan lain, ketimpangan Jawa dengan non-Jawa yang semakin menganga beberapa tahun terakhir ini merupakan potensi disintegrasi,” kata Hidayat.
Pengajar dari Institut Pertanian Bogor, DS Priyarsono, mengatakan, berkaca dari Thee Kian Wie, pertumbuhan ekonomi tidak harus selalu dibarengi dengan kemerosotan dalam pembagian pendapatan. Masalah ekonomi dapat ditanggulangi dengan kombinasi kebijakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siwage Dharma Negara, mengatakan, pemerintah diharapkan cermat dalam menerima tawaran kerja sama infrastruktur dari China dalam menerima tawaran investasi China melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan dari China (China’s Belt-Road Initiative). Sebagian proyek tersebut bukan baru, melainkan proyek lama yang dikemas ulang.
”Dampak yang perlu diperhatikan adalah ketergantungan yang semakin tinggi pada China. Risiko lain adalah risiko sosial akibat pembebasan lahan dan soal tenaga kerja. Ini risikonya tinggi dan bisa berdampak pada risiko politik,” kata Siwage.
Oleh karena itu, menurut Siwage, pemilihan proyek kerja sama dengan China tersebut mesti dilakukan pemerintah secara transparan. Komponen lokal, baik material maupun tenaga kerja dari Indonesia, juga mesti ditingkatkan. Komunikasi dengan publik perlu dilakukan dengan baik agar kepedulian masyarakat meningkat.