Komitmen Biyantie untuk Naik Kelas
Menerima gaji setiap bulan, karier terus meningkat, tidak membuat Setiawan Ananto menjadi puas. Di kepalanya seolah terus berputar hasrat untuk mengembangkan bisnisnya.
“Masa depan saya di sini. Biyantie masih terus dapat dikembangkan jika diurus dengan serius,” kata Setiawan. Dengan sepenuh hati dia yakin bahwa usaha tas kulitnya akan berkembang.
Keputusan pun diambil. Dia mengundurkan diri sebagai karyawan perusahaan besar dengan posisi mapan. Biyantie harus naik kelas. Mantan wartawan ini pun sepenuhnya mengurus bisnis yang telah ditekuni bersama istrinya, memproduksi tas kulit. Bisnis yang selama ini menjadi usaha sampingan, bertukar peran menjadi usaha utama dan penopang keluarganya.
Sebenarnya produksi tas kulit bukanlah bisnis pertama keluarga Setiawan dan Meri istrinya. Sebelumnya pada tahun 2011 Setiawan dan istrinya telah memiliki usaha membuat kotak dan berbagai wadah berbahan vinil atau kulit sintetis. Usaha tersebut dijalankan di Yogyakarta, sementara Setiawan dan keluarganya tinggal di Jakarta.
Pengelolaan bisnis jarak jauh tersebut tersendat. Walaupun sudah ada order yang masuk, dan menempatkan orang kepercayaan di sana, tidak membuat usaha menjadi melaju. Malahan sebaliknya. Setiawan dan istrinya pun memutuskan untuk menutup usaha tersebut.
“Sampai-sampai peralatan yang ada kami berikan kepada kompetitor,” kata Setiawan yang ditemui di rumah produksinya, di kawasan Pengadegan, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Usaha pembuatan vinil pun terhenti.
Hingga akhirnya pada tahun 2014, Pemprov DKI menawarkan kepada Setiawan untuk ikut pameran Inacraft, sebuah pameran kerajinan besar. Saat itu, Setiawan yang hanya memiliki sedikit stok vinil membawa tas-tas kulit yang diambil dari rekannya. “Dia sudah memasok ke 40 toko, juga sudah punya pasar di Jepang dan Eropa,” kata Setiawan. Seusai pameran, masih banyak pembeli yang bertanya tentang tas yang dijualnya.
“Menjadi reseller, memang ada untungnya, ada uang yang masuk. Tetapi rasanya hati saya tidak puas. Tidak ada kepuasan kalau hanya bisa menjual barang milik orang lain,” kata Setiawan.
Berawal dari permintaan pelanggan yang gencar, dia mendapatkan ide untuk memproduksi tas. Dari uang yang ada, Setiawan dan istrinya mulai membeli mesin jahit bekas. Mesin jahit untuk kulit berbeda dengan mesin jahit untuk kain.
Persoalan selanjutnya adalah mencari perajin yang dapat memproduksi tas dengan cermat sehingga dapat memproduksi tas yang berkualitas baik. Membuat barang berbahan vinil merupakan keahlian para perajin di Yogyakarta, sementara perajin tas lebih tersebar, hampir ada di setiap kota.
Dari berbagai informasi yang didapatnya, dia mendapatkan dua perajin tas tidak jauh dari Jakarta. Sayangnya, hanya dalam dua pekan setelah Setiawan merekrut kedua orang tersebut, keduanya kabur. Meninggalkan Setiawan dan mesin jahit tuanya dan menunda rencana untuk memulai usaha baru.
Satu pekan, dua pekan tidak berkabar, seorang penjahit tas kulit mendatangi dia dan melamar pekerjaan untuk menjadi penjahit. Ternyata penjahit itu adalah rekan dari salah seorang penjahit yang meninggalkannya. Akhirnya salah satu dari dua orang penjahit yang meninggalkannya kembali lagi. Setiawan pun memulai usahanya dengan dua penjahit.
Segmen atas
Sejak diluncurkan, produksi tas kulit yang diberi merek Biyantie memang menyasar segmen atas. Biyantie diambil dari nama tokoh rekaan yang menggambarkan perempuan yang cerdas dan tangguh. “Seperti sosok Kartini, tetapi dihadirkan dalam suasana zaman now,” ujarnya sembari tersenyum.
Harga tas kulit ini dimulai dari dua jutaan rupiah. Bahan baku tas Biyantie berasal dari kulit berkualitas premium dari dalam maupun luar negeri. “Ini kulit domba, lebih lemas dan halus. Ini kulit sapi Australia, lebih lebar dari kulit sapi lokal karena sapi di sana gemuk-gemuk,” kata Setiawan sembari terkekeh menunjukkan bahan baku tasnya. Selain kulit sapi Australia, Setiawan juga mengambil bahan baku kulit dari Turki dan Italia.
Mendapatkan bahan baku berkualitas premium memang tidak mudah. Proses pembuatan tas dilakukan dengan saksama dan teliti. Dampaknya, tas yang diproduksi menjadi terbatas, tetapi eksklusif. Biyantie juga membuatkan tas pesanan dari pembeli sesuai dengan keinginan pemesan.
“Jadi sebenarnya perancang tas adalah konsumen sendiri. Mereka memberikan model dan ukurannya,” kata Setiawan. Tetapi, Setiawan mengingatkan, jika konsumen meminta dia untuk menjiplak mentah-mentah rancangan tas yang bermerek terkenal, dia akan langsung menolak.
“Itu terkait dengan hak cipta. Kami memberikan pengertian kepada konsumen bukan begitu caranya untuk mendapatkan tas berkualitas baik dengan harga lebih murah. Kami juga menjaga kepercayaan,” kata Setiawan lagi.
Selain kulit berkualitas, bahan lainnya adalah asesoris seperti ritseleting, kancing dan logo-logo. “Tas Biyantie sudah memiliki ciri khas, jika tidak ada asesorisnya, konsumen tidak mau menerima tas pesanannya,” tutur Setiawan. Di bengkel kerjanya yang berlantai dua, terdapat satu lemari penuh dengan asesoris untuk membuat tas.
Tas-tas Biyantie tidak dijual melalui toko. Setiawan memanfaatkan penjualan secara daring melalui berbagai media sosial, laman juga aplikasi Biyantie. Bahkan dia menggunakan konsultan media sosial profesional untuk membantu memanfaatkan saluran penjualan tersebut.
Terkait dengan pemesanan tas yang sesuai dengan keinginan pelanggan, komunikasi dengan pelanggan pun banyak dilakukan dengan menggunakan aplikasi WhatsApp. Biyantie juga memiliki grup di Facebook, Biyantie Addict yang beranggotakan para pelanggan Biyantie. “Ada lho, pelanggan yang punya tas Biyantie sampai 30 dan 25 buah. Setiap kali ada produksi baru, dia pasti memesan,” kata Setiawan sembari menaikkan kaca matanya.
Diperlukan waktu satu sampai dua bulan dari pemesanan hingga tas sampai di tangan pelanggan. Dengan pegawai sebanyak 20 orang saat ini, Setiawan mampu memproduksi sekitar 200 tas Biyantie setiap bulannya. Kendala yang dihadapi adalah ketersediaan bahan baku kulit premium yang memang terbatas jumlahnya.
Ditanya soal permodalan, Setiawan mengatakan, modal sempat menjadi kendala. Tetapi, dengan sistem pemesanan, masalah modal dapat diatasi. Para pelanggan yang memesan tas Biyantie harus memberikan uang muka separuh dari harga tas. Setelah selesai, pelanggan membayar lunas pesanannya baru barang dapat dikirimkan. “Jadi kendala modal dapat diatasi, dengan pemesanan biaya produksi dapat diminimalkan,” ujar dia lagi.
Selain memproduksi tas untuk segmen atas, pada tahun lalu Setiawan juga memproduksi tas dengan merek The Meer untuk segmen dengan daya beli lebih rendah. Bahan bakunya berupa kulit lokal, bukan impor mengingat harganya yang lebih terjangkau.
“Kami mendapatkan banyak permintaan tas untuk segmen di bawah Rp 1 jutaan. Dan ternyata memang pembelinya banyak. Hanya saja, pemain pada segmen ini pun sudah banyak sekali sehingga persaingan lebih ketat,” jelas Setiawan. The Meer mendapatkan sambutan hangat. Dalam tiga kali produksi, minat pembeli terus meningkat dari 100, 300 menjadi 750 buah tas. Persaingan ketat membuat pesaing menjiplak rancangan The Meer dan menjualnya dengan harga lebih murah karena upah pekerja yang lebih murah dan bahan yang berbeda kualitas. Menurut Setiawan, jika dibanderol dengan harga lebih murah, produsen tidak dapat memberikan upah layak kepada para pegawainya. “Upah minimum di Jakarta tentu berbeda dengan upah minimum di Bantul,” kata dia.
Menata usaha
Tiga tahun berjalan dan bertambah besar, Setiawan mengatakan mulai membenahi usahanya dari berbagai sisi. Merek Biyantie sudah didaftarkan patennya untuk merek tas, dompet dan ikat pinggang. Demikian pula dengan bentuk badan usaha.
Setiawan mulai menata usahanya menjadi badan berbentuk perseroan terbatas. Sebagai badan usaha, tentu perlu membayar pajak. Setiawan pun mulai membenahi perpajakan usahanya. Segala legalitas formal ini sangat diperlukan jika usahanya berkembang lebih luas lagi, seperti bertransaksi dengan korporasi.
Tidak sekadar menjadi usaha kecil menengah, tetapi akan naik kelas lagi menjadi skala yang lebih besar.
Sebelum memutuskan berhenti bekerja, Setiawan yakin bisnisnya akan semakin berkembang. Tidak sekadar menjadi usaha kecil menengah, tetapi akan naik kelas lagi menjadi skala yang lebih besar. Pasar sudah mulai terbuka, tetapi harus ditambah dengan pengelolaan pemasaran lebih baik lagi. Sembari tetap menjaga kualitas produk.
Untuk dapat naik kelas dan ekspansi usaha, serta penambahan kapasitas produksi dan menambah pegawai baru, memang diperlukan suntikan dana segar. “Tetapi kami akan bertumbuh perlahan, sembari memperbaiki branding, menyesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang kami miliki,” ujarnya lagi.
Bekerja sama dengan pihak lain seperti perancang busana juga dilakoni Setiawan. Beberapa pekan lalu, dalam gelaran Indonesia Fashion Week, perancang busana Yogiswari meminta pasokan tas dari Biyantie untuk melengkapi bajunya. “Selain mbak Yogi, ada beberapa perancang busana lagi yang memesan tas Biyantie untuk rancangannya, seperti Kurzien Karzai,” kata Setiawan.
Kolaborasi seperti itu membuka peluang semakin besar. Tawaran kerja sama semakin banyak termasuk pameran di Dubai. Setiawan pun ditawari untuk memasok di pasar Eropa. Hanya saja, pasar ini tidak mudah ditembus.
Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai dari proses penyamakan kulit. Kulit harus diproses dengan jumlah bahan kimia tertentu. Produsen kulit harus dapat memperlihatkan sertifikat yang dapat membuktikan bahwa kulit tersebut sudah diproses dengan standar di Uni Eropa.
“Saya sedang mempelajari caranya, untungnya salah satu pemasok kami sudah pernah memasok juga untuk barang ke Eropa, jadi sudah pernah melalui proses sertifikasi ini,” kata Setiawan.
Perjalanan tiga tahun barulah langkah awal. Dengan bekerja keras dan komitmen kuat, tentunya pasar-pasar baru yang sulit pun dapat ditembus. Tentu akan menghantarkan Biyantie naik kelas.