Depresiasi Rupiah Tidak Bahayakan Stabilitas Keuangan
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia menyatakan depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat tidak membahayakan stabilitas sistem keuangan nasional. Persentase depresiasi rupiah itu masih kecil ketimbang depresiasi mata uang negara lain.
Di samping itu, kondisi likuiditas perbankan nasional juga kuat. Begitu juga dengan korporasi-korporasi nasional. Mereka yang memiliki utang valuta asing sebagian besar telah melakukan lindung nilai.
Hal itu mengemuka dalam konferensi pers tentang Depresiasi Rupiah di kantor BI di Jakarta, Kamis (26/4/2018), yang dihadiri antara lain Gubernur BI Agus DW Martowardojo dan Deputi Gubernur BI Erwin Riyanto.
Agus mengatakan, persentase depresiasi rupiah Indonesia dari 1-26 April 2018 sebesar 0,88 persen. Persentase itu lebih kecil ketimbang mata uang sejumlah negara lain. Dalam periode sama, baht terdepresiasi 1,12 persen, ringgit 1,24 persen, dollar Singapura 1,17 persen, won 1,38 persen, dan India 2,4 persen.
”Guncangan dunia secara umum menekan nilai tukar rupiah hingga melemah. Namun, sebenarnya ekonomi nasional masih kuat terhadap ketidakpastian global. Persentase depresiasi rupiah yang kecil itu menunjukkan ekonomi domestik masih resilience,” kata Agus.
Agus mengatakan, BI selalu hadir di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Bahkan, sejak lama BI telah mengeluarkan regulasi yang mewajibkan pelaku usaha yang memiliki utang luar negeri melakukan lindung nilai.
Di samping itu, BI terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS dalam aktivitas perdagangan dan keuangan. Salah satunya adalah dengan memperluas bilateral currency swap agreement (BCSA) dengan bank sentral negara lain.
Sejauh ini, Indonesia telah memiliki BCSA dengan Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara di ASEAN. Untuk BCSA Jepang dan Thailand, misalnya, nilai swap yang disepakati sebesar 22,7 dollar AS.
”BCSA tidak hanya berfungsi mendukung aktivitas perdagangan dan keuangan, tetapi juga melengkapi jaring pengaman saat terjadi krisis. Dengan BCSA, transaksi perdagangan dan keuangan dapat menggunakan mata uang setiap negara,” katanya.
Selain itu, BI juga telah membuat regulasi penggunaan valuta asing untuk bertransaksi di dalam negeri. Dengan menggunakan rupiah, transaksi di dalam negeri tersebut tidak akan membebani devisa negara. BI mencatat, dengan regulasi itu, transaksi di dalam negeri yang menggunakan valas turun dari 7 miliar dollar AS per bulan menjadi 1,6 miliar dollar AS per bulan.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Heru Kristiyana mengatakan, kondisi industri perbankan masih tetap solid dan memiliki ketahanan yang kuat menghadapi tekanan global. Hal itu ditunjukkan dengan rasio kecukupan modal (CAR) pada Maret 2018 yang kuat, yaitu 22,67 persen, rasio profitabilitas 2,55 persen, dan perbaikan efisiensi, seperti rasio belanja operasional terhadap pendapatan operasional yang menurun ke level 78,76 persen.
Kinerja intermediasi perbankan juga terus tumbuh relatif moderat seiring dengan pemulihan perekonomian. Penyaluran kredit pada Maret 2018 tumbuh 8,54 persen.
”Di tengah perkembangan intermediasi keuangan itu, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas berada pada level yang terkelola dengan baik. Rasio kredit bermasalah (NPL) gros perbankan menunjukkan perbaikan, yaitu 2,75 persen,” katanya.