JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha yang melakukan transaksi structured product tertentu tidak lagi dikenakan agunan kas sebesar 10 persen dari nilai nasional transaksi asal memenuhi sejumlah syarat. Dengan ketentuan itu, pelaku usaha tidak terbebani biaya agunan dan dapat menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan usaha.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.03/2018 tentang Perubahan atas POJK Nomor 7/POJK.03/2016 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum. Transaksi structured product tertentu adalah transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah dengan nasabah dalam bentuk kombinasi instrumen derivatif dengan derivatif, khususnya call spread option.
Transaksi itu dilakukan untuk lindung nilai sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dan nasabah harus memiliki fasilitas treasury line atau foreign exchange line dengan bank. Pelaku usaha bisa bebas tidak memenuhi kewajiban agunan kas sebesar 10 persen jika memenuhi tiga persyaratan.
Ketiga persyaratan itu adalah memiliki dokumen underlying transaksi, nilai nominal transaksi lindung nilai paling banyak sebesar nilai nominal underlying transaksi yang tercantum di dalam dokumen underlying transaksi, dan jangka waktu transaksi lindung nilai paling lama sama dengan jangka waktu underlying transaksi yang tercantum dalam dokumen underlying transaksi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/4/2018), mengatakan, sebelumnya yang bebas agunan kas sebesar 10 persen dari nilai nasional transaksi adalah nasabah tertentu. Nasabah tertentu itu antara lain bank, pemerintah, Bank Indonesia atau bank sentral negara lain, serta bank pembangunan multilateral atau lembaga pembangunan multilateral.
Dengan POJK baru itu, pelaku usaha yang melakukan transaksi structured product dengan tujuan lindung nilai dibebaskan dari agunan kas 10 persen asal memenuhi sejumlah persyaratan seperti yang diatur dalam POJK. Dengan begitu, pelaku usaha tidak lagi terbebani biaya agunan dan dapat memanfaatkan dana itu untuk menggerakkan usaha dan ekonomi nasional.
”Dengan regulasi itu, konsentrasi transaksi structured product di luar negeri dapat bergeser di pasar dalam negeri sehingga mampu mendorong efisiensi transaksi dan peningkatan likuiditas di pasar derivatif nasional,” katanya.
Menurut Wimboh, selama ini banyak pelaku usaha melakukan lindung nilai di luar negeri, khususnya Singapura, untuk menghindari biaya 10 persen itu. Padahal, jika dilakukan di dalam negeri, perbankan nasional dapat merasakan manfaat dana transaksi lindung nilai itu.
Wimboh mencontohkan, untuk satu bank besar nilai transaksi lindung nilai besar sekali yaitu 8 miliar dollar AS per tahun. Dengan agunan kas sebesar 10 persen, biaya yang harus dikeluarkan untuk deposit mencapai 800 juta dollar AS.
”Selain memberikan keringanan bagi pelaku usaha di dalam negeri, regulasi itu juga merupakan insentif bagi investor luar negeri yang berinvestasi rupiah. Dengan regulasi itu, peluang investor asing masuk Indonesia bisa lebih besar karena mengurangi biaya bagi investor luar negeri yang akan lindung nilai,” katanya.
Sementara itu, Gubernur BI Agus DW Martowardojo menyambut baik penerbitan POJK itu. Melalui regulasi itu, pelaku usaha yang akan melakukan lindung nilai call spead option tidak lagi dibebani biaya karena agunan kas sebesar 10 persen telah dicabut.
Untuk itu, di tengah ketidakpastian global ini, Agus meminta pelaku usaha yang memiliki kewajiban valas dan importir yang belum melakukan lindung nilai agar melakukan lindung nilai. Salah satunya adalah melalu instrumen call spread option yang saat ini biayanya semakin efisien.
”Dengan lindung nilai, perusahan-perusahaan dapat memitigasi risiko yang muncul dari ketidakpastian global, terutama ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS,” katanya.
BI mencatat, pada 2017 jumlah korporasi yang memiliki kewajiban valas dan sudah melakukan lindung nilai sebanyak 779 perusahaan. Dari total itu, 416 perusahaan memiliki kewajiban valas dalam 0-3 bulan, 223 perusahaan memiliki kewajiban valas dalam 3-6 bulan, serta 139 perusahaan memiliki kewajiban valas 0-3 bulan dan 3-6 bulan.