JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tengah menyiapkan infrastruktur pelaksanaan ketentuan wajib deklarasi identitas pemilik korporasi sesungguhnya. Sejalan dengan itu, sosialisasi dan ujicoba akan dilakukan. Harapannya, ketentuan bisa diterapkan mulai akhir 2018.
”Tahun ini harus sudah kita berlakukan. Kami sedang mempersiapkan. Di antaranya adalah melakukan finalisasi sistem aplikasi dan cara-cara pengisiannya. Selanjutnya akan kita uji coba dulu. Secara paralel, sosialisasi mesti dilakukan terus,” kata Kepala Seksi Perseroan Tertutup Subdirektorat Badan Hukum Kementeian Hukum dan HAM, Hadaris di Jakarta, Rabu (25/04/2018).
Salah satu target sosialisasi, menurut Hadaris, adalah notaris. Sebab, hanya notaris yang bisa mengisi identitas pemilik manfaat sesungguhnya. ”Yang jelas, apa pun mekansime pengisiannya haruslah mudah,” kata Hadaris.
Dalam waktu dekat, uji coba akan dilakukan menggunakan sistem dalam jaringan milik Kementeiran Hukum dan HAM. Targetnya, ini akan diintegrasikan dalam sistem one single submission atau sistem pendaftaran perijinan tunggal.
Secara paralel, Hadaris menambahkan, sejumlah aturan teknis juga harus direvisi untuk menyesuaikan. Dengan segala persiapan yang harus dikerjakan tersebut, Kemenkum HAM mengharapkan seluruh sistem bisa sepenuhnya efektif mulai akhir 2018.
Sudah menjadi praktek jamak di berbagai negara bahwa pemilik korporasi yang terdaftar sejatinya bukan pemilik memanfaat sesungguhnya. Hal ini antara lain untuk menghindari pajak. Model ini bisa juga digunakan untuk modus pencucian uang atau tindak kriminal lainnya.
Untuk itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahaan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Intinya adalah pemerintah mewajibkan setiap korporasi untuk menetapkan pemilik manfaat sesungguhnya dari korporasi. Subyeknya tidak boleh badan atau lembaga melainkan harus pribadi. Selanjutnya, korporasi wajib menyampaikan informasi tersebut kepada instansi yang berwenang, yakni Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam acara sosialisasi kepada industri ekstraktif di Jakarta, kemarin, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Montty Girianna, menyatakan, pemerintah mendorong korporasi migas dan minerba untuk membuka identitas pemilik manfaat sesungguhnya dari suatu korporasi. Targetnya, sesuai peta jalan, adalah mulai 2020.
”Di banyak negara kaya sumber daya ekstraktif, kerahasiaan kepemilikan (korporasi) berkontribusi pada korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak,” kata Montty.
Sampai saat ini, menurut Montty, hanya ada sedikit informasi yang tersedia untuk publik mengenai pemilik manfaat sesungguhnya dari perusahaan ekstraktif. Untuk itu, pemerintah mendorong korporasi mendeklarasikan pemilik manfaat sesungguhnya.
Soal payung hukum, Peraturan Menteri ESDM Nomor 48 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral telah terlebih dahulu mengamanatkan ketentuan serupa. Lebih spesifik lagi, surat edaran Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara mensyaratkan keterbukaan data pemilik manfaat sesungguhnya dalam pengajuan perijinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
Keterbukaan identitas pemilik manfaat sesungguhnya dari korporasi migas dan minerba merupakan salah satu hal yang disyaratkan oleh Standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Di antara 51 negara peserta, Indonesia adalah salah satunya.