Wajah Muslih (42), petani di Banyusari, Kabupaten Karawang; Sarwa (59) di Cipunagara, Kabupaten Subang; dan Ramli (57) di Losari, Kabupaten Brebes, semringah saat kami sambangi di sawahnya pekan lalu. Mereka ramah berkisah tentang hasil panen dan harga yang baik musim ini.
”Tumben, lo,” kata Sarwa. Biasanya, harga gabah anjlok saat puncak musim panen, kurun Februari-April. Selain pasokan yang melimpah, harga anjlok karena basah atau mutunya jelek sebab hujan dan tidak ada mesin pengering saat panen.
Akan tetapi, panen pertama tahun ini beda. Matahari bersinar cukup terik, serangan hama minim, serta hasil panen dan harga relatif tinggi. Kombinasi yang sempurna buat petani. Sarwa, misalnya, memanen 5 ton gabah kering panen (GKP) dari 0,6 hektar sawahnya, jauh lebih tinggi daripada musim lalu yang hanya 0,3 ton karena serangan wereng.
Saat panen akhir Maret 2018 lalu, gabah Sarwa ditawar tengkulak Rp 5.300 per kilogram (kg), jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang masih Rp 3.700 per kg. Muslih yang panen belakangan pun masih dapat harga yang lumayan tinggi. Gabahnya laku Rp 4.800 per kg GKP.
Tak ada kabar lebih menggembirakan sekaligus memotivasi petani selain harga jual yang layak atas hasil jerih payahnya. Oleh karena itu, seusai panen mereka bergegas mengolah lahan, menyemai benih, dan menanam lagi. Nyaris tanpa jeda. Harapannya, hasil dan harga tetap tinggi di panen kedua nanti.
Jika menilik pola tahunan, harga gabah biasanya mencapai titik terendah pada puncak panen pertama, sekaligus menjadi momentum terbesar penyerapan gabah oleh Perum Bulog. Lalu, kenapa harga gabah bertahan tinggi awal tahun ini, apa pemicunya? Cerita perebutan gabah di lapangan bisa jadi jawaban. Sejumlah petani mengungkap hadirnya tengkulak, pengusaha penggilingan dari luar daerah, bahkan mitra Bulog, di lokasi-lokasi panen.
Pasar beras diduga sangat ”lapar”. Kekosongan stok di akhir tahun lalu hingga awal tahun membuat permintaan gabah dan beras meningkat musim ini. Tengkulak, pengelola penggilingan, pengusaha beras, termasuk Bulog, berlomba mengumpulkan ”bekal”.
Suasana perebutan juga terasa di Pasar Induk Beras Johar, Kabupaten Karawang, Rabu (18/4/2018) pagi. Hari itu, kata sejumlah pedagang, tak seperti biasa. Normalnya, 1.000 ton beras masuk per hari. Namun, pengelola memperkirakan hari itu hanya 600 ton. Pemasok beras asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dilaporkan memilih mengirim ke Bulog setempat karena harga dinilai lebih baik. Harga di pasar pun terdorong, seperti jenis medium I dari
Rp 7.800-Rp 8.000 per kg jadi Rp 8.300 per kg di tingkat grosir.
Harga gabah maupun beras di lapangan umumnya masih di atas HPP. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) di 2.350 lokasi transaksi di 30 provinsi di Indonesia, selama Maret 2018, menunjukkan, rata-rata harga gabah di tingkat petani Rp 4.757 per kg GKP, sementara rata-rata harga beras Rp 9.893 per kg atau di atas HPP beras yang ditetapkan Rp 7.300 per kg.
Akan tetapi, pemerintah melalui Bulog terus menggenjot penyerapan untuk mengejar target. Intervensi yang dianggap tak perlu oleh Sapuan Gafar, Kepala Biro Harga dan Analisa Pasar Bulog 1976-1981, sebab justru akan menguras stok beras masyarakat. Dampaknya, suatu saat harga akan naik dan butuh intervensi pasar yang lebih besar.
Intervensi di tingkat produsen semestinya ditempuh ketika harga gabah jatuh. Tujuannya menjaga harga di petani tidak terus turun. Praktik beberapa tahun ini, pemerintah meminta Bulog terus menyerap meski harga beras di atas HPP, antara lain, dengan menaikkan fleksibilitas pembelian 10-20 persen. Dampaknya, target pengadaan sulit dicapai, sementara stok masyarakat terkuras.
Sederet gejala sebenarnya berulang dengan pola yang sama. Pertengahan tahun lalu, ketika harga beras terus bergerak naik, pemerintah tak segera memutuskan langkah. Stok dianggap cukup, produksi bahkan diyakini surplus. Namun, pasar tak bisa diredam oleh klaim-klaim semu. Harga justru bergerak semakin liar di awal tahun. Pemerintah akhirnya memutuskan mengimpor sebanyak 500.000 ton.
Apakah produksi tahun ini mencukupi kebutuhan? Sambil berjuang keras mendongkrak produksi, kiranya pemerintah perlu lebih jeli membaca gejala, sekaligus memperbaiki angka-angka yang menjadi acuan. Apakah mau jatuh berkali-kali di lubang yang sama? (MUKHAMAD KURNIAWAN)