JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan melanjutkan 13 dari 33 pelabuhan yang pembangunannya mangkrak. Beberapa pelabuhan itu, antara lain, akan dilanjutkan oleh Pelindo II, Pelindo IV, dan pemerintah daerah. Pembangunan dilanjutkan dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang mendesak akan keberadaan pelabuhan.
”Selain melanjutkan pembangunan, kami juga akan mengubah peruntukan pelabuhan ini agar tetap berguna bagi masyarakat,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Laut Agus H Purnomo di Jakarta, Jumat (27/4/2018).
Dengan dilanjutkannya 13 proyek pembangunan pelabuhan, tersisa 20 proyek yang mangkrak. Menurut Agus, mangkraknya pembangunan pelabuhan itu disebabkan banyak hal. Ada yang karena perubahan kondisi alam, perkembangan di sekitar pelabuhan, dan daya dukung wilayah sekitar yang tidak ada.
”Ada pelabuhan yang saat dibangun mempunyai kedalaman sekitar 5 meter. Namun, karena di hulu ada penambangan pasir, terjadi sedimentasi. Sekarang kedalaman di dermaga hanya 1 meter,” kata Agus.
Adanya 33 proyek pembangunan pelabuhan yang mangkrak diketahui setelah Inspektorat Jenderal Perhubungan melakukan pengecekan.
”Tujuannya untuk memanfaatkan seluruh aset yang ada untuk pertumbuhan. Hasil dari temuan ini dilaporkan kepada Menteri Perhubungan untuk diputuskan bagaimana kelanjutan dari pembangunan pelabuhan ini,” ujar Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan Wahyu Satrio Utomo.
Pertimbangan dilanjutkannya pembangunan pelabuhan itu adalah kebutuhan masyarakat dan ketersediaan anggaran.
Wahyu mengatakan, dalam inspeksi, yang dilihat adalah apakah betul pembangunan dilakukan, bagaimana dukungan kawasan sekitar, seperti akses jalan menuju pelabuhan, dokumen pendukung, dan sebagainya. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan karena pelabuhan itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat daerah tersebut.
”Ada pelabuhan yang sudah siap dioperasikan, tetapi daya dukung tidak ada, seperti jalan menuju pelabuhan atau kondisinya tidak layak,” kata Wahyu.
Ada juga pelabuhan yang dokumen pendukungnya belum siap. Penyebabnya adalah perencanaan yang tidak komprehensif dan terpadu. Pengawasan di lapangan belum dilakukan intensif. Pemberi pekerjaan tidak berperan secara profesional dengan memeriksa hasil pembangunan.
”Demikian juga koordinasi tidak berjalan baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kontraktor dengan pengawas, juga dengan instansi lain yang terkait,” lanjut Wahyu.
Menurut Agus, pertimbangan dilanjutkannya pembangunan pelabuhan itu adalah kebutuhan masyarakat dan ketersediaan anggaran. Ada juga pemerintah daerah yang mulai bergerak membangun, tetapi disesuaikan dengan kemampuan anggaran keuangan.
Ada juga pulau yang dilayani kapal perintis, tetapi kapal perintisnya tidak bisa merapat karena pelabuhannya belum siap. Akibatnya, alih barang dilakukan di lepas pantai dari kapal perintis ke kapal nelayan dengan kondisi ombak tinggi.
”Namun, untuk melanjutkan pembangunan pelabuhan itu, perlu dilihat apakah desain yang ada masih sesuai dengan kondisi terkini. Bisa saja yang semula didesain untuk pelabuhan umum sekarang lebih cocok untuk pelabuhan pariwisata atau pelabuhan untuk pertambangan karena di daerah itu sekarang banyak pertambangan,” tutur Agus.
Pertumbuhan ekonomi
Menurut Agus, hal-hal yang bisa mengubah desain pelabuhan antara lain pertumbuhan ekonomi, perubahan alam, dan perubahan kondisi sekitar.
”Kerugian negara yang lebih besar harus dicegah. Kalau memang pelabuhan tidak lagi dirasakan seperti tujuan semula, harus diubah agar tidak semakin rugi. Yang jelas, itu dilakukan agar seluruh aset bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin,” ujar Wahyu.
Pengamat kemaritiman Reza Andrea Ginting mengatakan, dalam pembangunan pelabuhan, seharusnya ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pemerintah. Pertama adalah skala ekonomi dari pelabuhan itu. Sementara yang kedua adalah koordinasi dengan pemangku kepentingan yang lain.
”Jangan sampai membangun pelabuhan hanya untuk sekadar proyek, apalagi proyek mercusuar. Walaupun pemerintah yang membangun pelabuhan itu, pemerintah tetap harus melihat kapan modal pembangunan pelabuhan itu bisa kembali. Jika memang tidak masuk, lebih baik tidak dibangun. Atau membangun dengan ukuran yang lebih kecil,” tutur Reza.
Jangan sampai membangun pelabuhan hanya untuk sekadar proyek, apalagi proyek mercusuar.
Dia mencontohkan, sebuah pelabuhan peti kemas yang melayani 500 boks setiap bulan akan memiliki biaya operasional yang sangat mahal. Pelabuhan itu tetap harus menyediakan alat bongkar muat, buruh, truk, dan sebagainya. ”Hal seperti ini yang harus dihitung cermat agar pembangunan pelabuhan tidak sia-sia,” ujarnya.
Koordinasi dengan semua pihak juga sangat diperlukan mengingat pelabuhan sebenarnya hanyalah tempat transit. Semua pihak yang berkepentingan dengan adanya pelabuhan harus mengambil porsi tanggung jawabnya masing-masing.