Bahan bakar minyak dan listrik disediakan serta dijual oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Untuk bahan bakar minyak, sebagian diimpor oleh Pertamina. Adapun untuk listrik, sumber energinya yang sebagian besar memakai batubara dicukupi dari dalam negeri.
Pembelian dilakukan dalam mata uang dollar AS. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpengaruh langsung terhadap aliran kas kedua perusahaan negara itu. Harga beli tinggi berbarengan dengan pelemahan nilai tukar rupiah kian menekan keuangan perusahaan. Apalagi, harga jual energi tak boleh naik sehingga kondisi perusahaan kian terseok-seok.
Pada Selasa (24/4/2018), nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang diterbitkan Bank Indonesia menyentuh Rp 13.900 per dollar AS. Pertamina butuh banyak rupiah untuk mengimpor minyak mentah yang pada Kamis (26/4) sore seharga 74,22 dollar AS per barrel untuk jenis Brent. Padahal, acuan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 untuk harga minyak adalah 48 dollar AS per barrel.
Tak hanya Pertamina, nilai tukar rupiah menjadi acuan PLN dalam penentuan tarif listrik nonsubsidi selain inflasi dan harga minyak mentah. Kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah kian memberatkan keuangan perusahaan. Dalam hitungan PLN, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebanyak Rp 100, misalnya, setara dengan pembengkakan senilai Rp 1,6 triliun bagi perusahaan ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menetapkan bahwa tidak ada perubahan harga jual BBM dan tarif listrik sampai 2019. Harga BBM jenis premium tetap Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Dengan kondisi harga minyak mentah saat ini, harga jual kedua jenis BBM itu menimbulkan defisit Rp 1.000-Rp 2.000 per liter.
Selain itu, Pertamina dan badan usaha lain wajib mengajukan izin kepada pemerintah jika hendak menaikkan harga BBM nonsubsidi, seperti pertalite dan pertamax. Alasan pemerintah adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Ini tak lepas dari keputusan politik. Kenaikan harga BBM atau tarif listrik bisa dipolitisasi dan berpotensi menimbulkan kegaduhan. Pemerintah tak menginginkan ini terjadi.
Lantas, bagaimana menyiasatinya? PLN beruntung karena mendapat harga khusus bagi batubara yang dipasok khusus untuk pembangkit listrik yang mereka operasikan. Menteri ESDM memutuskan harga batubara dalam negeri dipatok 70 dollar AS per ton atau mengabaikan indeks pasar harga batubara yang saat ini di atas 90 dollar AS per ton. Kebijakan ini menolong PLN. Yang pusing tentu Pertamina. Selain tak ada harga khusus untuk minyak mentah yang dibeli, gerak bisnis perusahaan kian sempit setelah kenaikan harga pertalite sebesar Rp 200 per liter beberapa waktu lalu disentil pemerintah. Pertamina dan perusahaan lain wajib mengajukan izin kepada pemerintah jika hendak menaikkan harga jenis BBM nonsubsidi. Padahal, setelah tak mendapat untung menjual premium dan solar bersubsidi, Pertamina berharap mendapat ”napas” tambahan lewat penjualan BBM nonsubsidi.
Aspek penting sebetulnya bukan fokus pada kewajiban izin. Pemerintah telah memutuskan untuk mengkaji harga BBM (premium dan solar bersubsidi) serta tarif listrik setiap tiga bulan. Harga bisa naik atau turun sesuai perkembangan harga pasar dunia. Masyarakat perlu dibiasakan terhadap harga energi yang dinamis karena harga pokoknya dinamis. Agak sulit berharap pada subsidi APBN di tengah penerimaan pajak yang seret. Tak berubahnya harga energi di tengah kenaikan harga minyak mentah dan batubara, apalagi diikuti pelemahan rupiah terhadap dollar AS, memang populis. Itu tak menjadi soal tatkala uang negara cukup untuk menutup selisih harga jual dan ongkos produksi. Namun, sejauh mana kekuatan APBN menahan defisit harga? Lagi pula, evaluasi harga energi setiap tiga bulan sudah disetujui Komisi VII DPR.
Konsumen harus diedukasi bahwa Indonesia adalah negara importir minyak. Separuh dari kebutuhan BBM dalam negeri diperoleh lewat impor. Kenaikan harga harus disadari sepenuhnya dan diharapkan bisa membawa perilaku konsumen agar lebih hemat memakai energi. Langkah lain adalah penertiban penyaluran subsidi tepat sasaran, yaitu subsidi elpiji 3 kilogram dan subsidi listrik. PLN sudah memulai penertiban itu. Jutaan rumah tangga dicabut subsidinya karena terbukti tak layak menerima. Penertiban ini dapat menghemat triliunan rupiah. (ARIS PRASETYO)