JAKARTA, KOMPAS - Penggunaan bom ikan masih berlangsung masif sekalipun pemerintah mengklaim stok ikan nasional berlimpah. Penyelundupan bahan baku bom ikan berlangsung dengan memanfaatkan jalur-jalur masuk ilegal.
Di perairan Jampea, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, aparat kepolisian menggagalkan penyelundupan 2.400 karung atau setara 60 ton pupuk amonium nitrat yang merupakan bahan dasar pembuatan bom ikan pada Kamis (26/4/2018). Penangkapan dilakukan oleh Kepolisian Resor Kepulauan Selayar.
Kepala Kepolisian Resor Selayar Ajun Komisaris Besar Syamsu Ridwan saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (27/4) kemarin, mengemukakan, bahan peledak tersebut diselundupkan menggunakan kapal kayu KLM Motor Eka Putri. Dari hasil penggeledahan kapal, pihaknya memeriksa 10 pelaku, yakni HA (kapten kapal), S (juru mesin), dan 8 anak buah kapal. Selain itu, polisi juga menahan satu cukong asal Sulawesi Tenggara.
KLM Motor Eka Putri memuat pupuk amonium nitrat dengan tujuan Selayar, Wakatobi, hingga Timor Leste. Ada indikasi bahan dasar bom ikan itu dipasok dari Malaysia dan diangkut menggunakan kapal kayu untuk didistribusikan ke sejumlah wilayah Indonesia timur. Barang tersebut masuk tanpa dokumen impor dan kepabeanan.
”Bahan peledak itu dibawa langsung dari Malaysia. Ada kemungkinan pelaku bekerja sama dengan pemasok dari luar negeri,” ujar Syamsu.
Ia menambahkan, bahan dasar bom ikan dijual ke nelayan senilai Rp 2 juta-Rp 3 juta per karung. Dari setiap karung, dapat dibuat 50 botol bom ikan. Dengan demikian, penyelundupan 2.400 karung dapat menghasilkan 120.000 botol bom. Setiap botol dapat menghancurkan ekosistem dalam radius 10-14 meter persegi.
Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan salah satu jalur penyelundupan pupuk atau bahan dasar bom ikan. Penyelundupan bahan peledak ikan secara masif diedarkan ke Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Timor Leste. ”Untuk itu, diperlukan penyelidikan lanjutan untuk pelaku, pemasok, pengedar, dan pengguna pupuk amonium nitrat sebagai bahan dasar pembuatan bom ikan,” kata Syamsu.
Data Destructive Fishing Watch (DFW) menunjukkan, tindak pidana bahan peledak selama 2017 tercatat 84 kasus, sedangkan pada 2016 berjumlah 112 kasus. Syamsu mengemukakan, hampir setiap tahun pihaknya menemukan kasus penyelundupan bahan dasar bom ikan. Bahan peledak itu diduga dipasok ke nelayan kecil hingga cukong kapal.
Biaya lebih murah
Pada 2016, pihaknya menggagalkan penyelundupan 1.200 karung atau 30 ton bahan dasar bom ikan di Kepulauan Selayar. Padahal, wilayah itu dikenal dengan kekayaan terumbu karang. ”Sekali meledakkan bom ikan, biaya penangkapan ikan dianggap lebih murah dan hasil tangkapan banyak. Namun, tindakan itu jelas merusak sumber daya,” ujarnya.
Ia menambahkan, pasokan bahan baku bom ikan tak akan terus berlangsung jika tidak ada permintaan. Karena itu, diperlukan kesadaran nelayan untuk menangkap ikan secara ramah lingkungan.
Secara terpisah, Koordinator Nasional DFW Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, penyelundupan bahan baku bom ikan masih masif terjadi karena banyaknya pintu masuk ilegal. Pemerintah perlu segera mengidentifikasi dan meningkatkan pengawasan terhadap peredaran barang terlarang itu.
Itu antara lain bisa dilakukan melalui pengawasan di perbatasan Malaysia yang menjadi pintu masuk bahan baku bom ikan, seperti di wilayah Pasir Gudang dan Sadeli. Di sisi lain, pemda harus memberikan perhatian pada pemberdayaan nelayan pelaku bom dan pendampingan untuk mata pencarian alternatif.