JAKARTA, KOMPAS – Nilai ekspor minyak sawit di triwulan I-2018 tertekan. Hal ini sejalan dengan harga yang lebih rendah dari periode yang sama di tahun lalu. Tekanan harga diperkirakan masih akan berlanjut di triwulan II-2018.
Minyak sawit merupakan penyumbang terbesar ekspor nonmigas Indonesia. Artinya, tekanan ekspor sawit akan sangat memengaruhi performa eskpor Indonesia dan pada akhirnya memengaruhi neraca perdagangan Indonesia.
Ekspor sawit Januari-Februari 2018 lebih rendah ketimbang periode Januari-Februari 2017. Akibatnya, surplus perdagangan nonmigas pada periode tersebut hanya tipis sehingga tidak dapat mengompensasi besarnya defisit perdagangan migas. Alhasil, neraca perdagangan Januari dan Februari, defisit.
Baru pada Maret, neraca perdagangan surplus. Ini antara lain berkat eskpor batu bara yang tinggi. Pada Maret, ekspor sawit masih lebih rendah ketimbang periode yang sama di 2017.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, melalui sambungan telepon dari Bangladesh, Jumat (27/4), memperkirakan volume ekspor minyak sawit pada triwulan II-2018 akan meningkat dari triwulan I-2018. Dengan demikian, volume ekspor selama semester I-2018 diharapkan juga meningkat dibanding periode yang sama di tahun lalu.
Hal tersebut sejalan dengan proyeksi produksi sawit di semester I-2018 yang diperkirakan tumbuh 3-4 persen ketimbang tahun lalu. Namun dengan perkiraan harga yang lebih rendah ketimbang tahun lalu, Joko memproyeksikan nilai eskpor semester I-2018 akan sedikit lebih rendah ketimbang semester I-2017.
”Untuk agregat nilai eskpor sampai dengan akhir tahun, belum ada yang bisa meramalkan. Kalau volume, saya yakin naik dibanding tahun lalu meskipun pertumbuhannya lebih kecil,” kata Joko.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, memperkirakan neraca perdagangan Indonesia tahun ini masih akan surplus. Namun nilainya turun drastis ketimbang surplus tahun lalu.
Sinyal ini telah ditunjukkan oleh performa perdagangan di triwulan I-2018. Pada triwulan I-2018, surplus nonmigas melemah tetapi defisit migas melebar. Turunnya surplus nonmigas, menurut Faisal, disebabkan oleh ekspor nonmigas secara keseluruhan yang tumbuh lebih lambat ketimbang impor nonmigas.
Mengacu data BPS, ekspor tambang triwulan I-2018 lebih baik dibanding triwulan I-2017. Pada periode yang sama, ekspor pertanian dan manufaktur lebih rendah. Ekspor sawit adalah salah satunya.
”Jadi secara keseluruhan, saya memperkirakan surplus perdagangan tahun ini akan lebih rendah dibanding tahun lalu,” kata Faisal.
Setelah ledakan komoditas pada 2011-2012, volume ekspor minyak sawit terus meningkat. Namun nilainya konsisten turun. Ini sejalan dengan harga minyak sawit yang juga turun.
Pada 2017, harga minyak sawit kembali membaik. Rata-rata harga selama periode itu adalah 714,3 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton. Di 2016, harga rata-rata adalah 700,4 dollar AS per metrik ton.
Alhasil, ekspor sawit di tahun itu mencatatkan rekor tertinggi, baik nilai maupun volume. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor sawit di 2017 mencapai 20,34 miliar dollar AS. Sementara volumenya adalah 28,77 juta ton.
Tahun ini, harga minyak sawit, setidaknya di semester I, diperkirakan lebih rendah ketimbang periode yang sama di tahun lalu. Dengan demikian, nilai ekspor sawit diperkirakan juga akan lebih rendah ketimbang periode yang sama di tahun lalu.
Hal ini akan menggerus potensi surplus perdagangan tahun 2018. Surplus perdagangan adalah salah satu penyumbang produk domestik bruto nasional. Penyumbang lainnya adalah konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran pemerintah.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2018 adalah 5,2 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun berkisar 5,22 persen – 5,41 persen.
Sementara CORE Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2018 sekitar 5 persen. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkiraan 5,1-5,2 persen.