Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Jadi Solusi
JAKARTA, KOMPAS--Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang tidak kunjung stabil dikhawatirkan dapat memicu lonjakan inflasi. Bank Indonesia dinilai perlu meningkatkan suku bunga acuan untuk menjaga iklim perekonomian di dalam negeri.
Sepanjang pekan lalu, penguatan dollar AS terhadap mayoritas mata uang dunia masih terjadi. Kondisi ini turut berdampak pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang meninggalkan level 6.000-an.
Pada Jumat (27/4/2018), nilai tukar rupiah Rp 13.879 per dollar AS. Posisi ini menguat dibandingkan dengan Kamis (26/4/2018) yang sebesar Rp 13.930 per dollar AS. Nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada Kamis lalu merupakan yang terendah sejak awal tahun. Meskipun, di pasar tunai, rupiah sempat menyentuh Rp 13.975 per dollar AS pada Senin (23/4/2018).
Adapun IHSG menutup pekan lalu di posisi 5.919 atau turun 6,6 persen dari posisi 6.337 pada Jumat (20/4/2018). Pada perdagangan Jumat (27/4/2018), IHSG sempat menyentuh posisi terendah pada 5.885.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira di Jakarta, Minggu (29/4/2018), berpendapat, kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate bisa menjadi solusi di tengah tekanan global. Apalagi, pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak diprediksi bakal mengerek inflasi.
Bank Indonesia dianggap perlu menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate dari posisi saat ini 4,25 persen, karena tekanan eksternal terus melemahkan rupiah. Di sisi lain, menaikkan suku bunga acuan termasuk pilihan dilematis karena suku bunga bank yang rendah diperlukan pengusaha.
“Jika suku bunga naik, nilai aset, baik surat utang maupun saham akan lebih menarik di mata investor. Cara paling memungkinkan untuk mengatasi gejolak nilai tukar rupiah dalam jangka pendek adalah menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate 25-50 basis poin,” katanya.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan mengatakan, BI perlu merespons kemungkinan percepatan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, dengan menaikkan suku bunga acuan BI. Hal ini perlu dilakukan untuk menahan arus keluar dana asing akibat kenaikan imbal hasil surat utang negara AS. Kenaikan imbal hasil dan penguatan dollar AS terjadi seiring dengan perbaikan perekonomian AS. Kondisi ini memperbesar peluang kenaikan bunga acuan AS atau Fed Fund Rate lebih cepat dari ekspektasi.
Dampaknya, penempatan dana dalam aset berwujud dollar AS menjadi lebih menarik. “Ada upaya dari para investor global untuk mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga. Kalau tidak merespons, dianggap terlambat. Yang ada terjadi aksi jual terhadap obligasi dan saham,” ujarnya.
Anton menekankan, kenaikan suku bunga acuan tidak akan serta-merta mengerek suku bunga kredit perbankan yang akan memberatkan pengusaha. Selama pertumbuhan kredit tidak berlangsung cepat, perbankan tidak akan langsung menaikkan suku bunga dana dan kredit.
Harus melemah
Sementara, Kepala ekonom dan riset pasar UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menyebutkan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS memang harus melemah secara gradual. Sebab, defisit transaksi berjalan Indonesia diprediksi melebar, dari 1,7 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2017 menjadi 2,1 persen PDB pada 2018.
"Fiskal kita juga defisit. Kita masih harus menerbitkan surat utang dalam denominasi rupiah atau mata uang asing, sehingga meningkatkan kebutuhan dollar AS. Pembayaran dividen ke luar negeri pada April ini juga dalam mata uang asing," jelas Enrico.
Sebelumnya, UOB Indonesia memprediksi kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 bps pada triwulan IV-2018. Namun, ancaman inflasi muncul sejak memasuki triwulan II-2018, sehingga BI diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan 25-50 bps lebih cepat.
Pada Kamis (26/4/2018), Gubernur BI Agus DW Martowardojo menyampaikan, apabila tekanan terhadap nilai tukar berlanjut, serta berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan mengganggu stabilitas sistem keuangan, BI tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga kebijakan BI 7-Day Reverse Repo Rate.
Secara terpisah, analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta, menilai, pola pergerakan IHSG yang menunjukkan tekanan untuk melepas atau menjual saham sudah berkurang. Hal ini bisa menjadi tanda bahwa tren pembalikan harga akan terjadi dalam waktu dekat.
“Pergerakan IHSG mengindikasikan potensi stimulus beli yang berarti berpotensi juga terjadi penguatan pada pergerakan pekan ini,” ujarnya.
Analis PT Indosurya Bersinar Sekuritas, William Suryawijaya, mengatakan, pergerakan IHSG pada pekan ini akan dipengaruhi persepsi pasar yang positif terkait pengumuman inflasi April 2018 yang diperkirakan tetap terjaga.