JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memproyeksikan agar peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tuntas disusun tahun ini. Peraturan turunan diharapkan dapat memberikan perlindungan pekerja migran dari hulu ke hilir secara jelas.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakir, saat ditemui di Jakarta, Selasa (1/5/2018), menyatakan, jangka waktu untuk membuat peraturan turunan dari UU tersebut adalah dua waktu. ”Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sedang berkoordinasi dengan lembaga dan kementerian terkait mengenai UU itu,” katanya.
Adapun tanggal 1 Mei merupakan peringatan Hari Buruh Internasional.
Dalam memperingatinya, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif menyatakan, pemerintah perlu segera menuntaskan draft peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan kepala badan sebelum Pemilu 2019.
Perlindungan pekerja migran yang sistematis dan berbadan hukum dinilai perlu untuk segera diterapkan. Apalagi, data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan, kasus buruh migran cenderung naik selama tahun 2017.
Terdapat 254 kasus buruh migran tidak berdokumen, 33 kasus overcharging, dan 33 kasus overstay. Perempuan menjadi mayoritas korban karena pekerjaan buruh migran terbesar adalah sebagai pekerja rumah tangga (PRT). PRT secara umum masih dinilai sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak membutuhkan keterampilan.
Sekretaris Jenderal Kemnaker Hery Sudarmanto menyatakan, pemerintah dalam melindungi pekerja migran dengan mendorong mereka mendapatkan sertifikasi keahlian. ”Mereka akan mengikuti pelatihan, misalnya di bidang memasak dan mengasuh anak, lalu diberi sertifikat,” katanya.
Pekerja dengan sertifikasi dinilai memiliki pengakuan dan akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat di pasar kerja. Pemerintah juga akan terus mendorong agar negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menerapkan ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dalam membuat kebijakan.
Pemerintah juga berencana mendorong keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan pekerja migran, contohnya pemerintah sedang mengatur sistem integrasi data pekerja berbasis daring.
Data mengenai kebutuhan pekerja migran akan diambil dari atase ketenagakerjaan di perwakilan Indonesia dan perusahaan pengerah tenaga kerja swasta.
Atase Ketenagakerjaan akan memasukkan data itu ke sistem administrasi ketenagakerjaan dan disalurkan kepada BNP2TKI. Setelah itu, data akan dimasukkan ke Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) dan komunitas masyarakat desa.
BNP2TKI, LTSA, dan komunitas masyarakat desa bertugas memasukkan data terkait ketersediaan tenaga kerja di tingkat kabupaten dan kota. ”Integrasi data mendorong mix and match sehingga keamanan pekerja terjamin,” ucap Hery.