JAKARTA, KOMPAS — Industri rumput laut berpotensi digerakkan sebagai salah satu komoditas andalan kelautan. Saat ini, potensi rumput laut yang dimanfaatkan baru sekitar 2 persen. Padahal, potensi ekonomi rumput laut Indonesia mencapai Rp 34 miliar per tahun.
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Dahuri mengatakan, penggunaan rumput laut di dunia sudah sangat luas, mulai dari bahan baku produk makanan dan minuman, kosmetik, hingga bahan pelapis pesawat terbang. Indonesia sebagai negara penghasil komoditas rumput laut terbesar kedua setelah China hingga kini baru memanfaatkan 2 persen dari potensi rumput laut. Hampir 80 persen produk rumput laut diekspor dalam bentuk mentah, berupa rumput laut kering.
”Kita masih minim menggarap produk olahan rumput laut yang bernilai tambah,” kata Rokhmin dalam diskusi kelompok terfokus dengan tema ”Peluang Usaha Rumput Laut yang Berkelanjutan di Indonesia”, Senin (30/4/2018), di Jakarta.
Luas perairan dangkal di Indonesia yang cocok untuk pengembangan budidaya rumput laut sekitar 2 juta hektar, yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Produksi rumput laut kering rata-rata 17 ton per hektar. Jika budidaya rumput laut dioptimalkan, bisa dihasilkan 34 juta ton rumput laut kering dengan potensi nilai ekspor 34 miliar dollar AS (sekitar Rp 474 triliun).
Indonesia menghadapi bonus demografi dengan penambahan angkatan kerja baru 3,2 juta orang. Usaha rumput laut dinilai merupakan salah satu solusi untuk menggerakkan perekonomian di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta menyerap tenaga kerja.
Menurut data Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), jenis rumput laut di Indonesia mencapai ratusan spesies, meliputi 201 spesies rumput laut karaginan, 238 spesies coklat, dan 452 spesies merah. Dari jumlah itu, baru tiga spesies yang dikembangkan, yakni rumput laut merah Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, dan Gracilaria verrucosa. Sementara itu, industri pengolahan rumput laut di Indonesia berjumlah 35 industri, dengan produk olahan di antaranya berupa produk semi-bahan baku (chip) semi-refine karaginan.
Produk olahan
Ketua ARLI Safari Azis mengemukakan, terbuka peluang bisnis untuk menciptakan formulasi produk olahan rumput laut. Selama ini, produk rumput laut kering diekspor dalam bentuk kering untuk diekstrak menjadi karaginan dan diformulasi menjadi bahan baku makanan dan minuman, pasta gigi, dan produk turunan lainnya.
Di sisi lain, industri di Indonesia belum banyak menggunakan rumput laut sebagai komponen bahan baku karena harga karaginan mahal. Harga karaginan bisa mencapai lima kali lipat dari tapioka. ”Ini peluang bisnis untuk inovasi produk. Formulasi ini yang diperlukan sebelum menjual (produk) kepada konsumen. Untuk itu dibutuhkan teknologi dan investasi,” ujar Safari.
Pada 2017, ekspor rumput laut sekitar 172.000 ton kering, meliputi 128.000 ton Cotonii dan 44.000 ton Gracilaria.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Yugi Prayanto mengatakan, rumput laut merupakan komoditas unggulan kelautan dan perikanan setelah tuna dan udang. Peluang industri rumput laut masih sangat besar, termasuk potensi produk olahan. Namun, pelaku usaha membutuhkan penjelasan peluang bisnis rumput laut yang konkret.
Direktur Produksi dan Usaha Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Umi Windriani menyebutkan, pada 2016, produksi rumput laut baru 13 juta ton basah atau setara 1,3 juta ton kering dari target produksi 20 juta ton rumput laut basah. Pada 2017, produksi rumput laut ditargetkan 16 juta ton basah dan tahun 2019 diharapkan mencapai 19,5 juta ton basah.