JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN mencoba ambil manfaat di tengah harga batubara yang tinggi. Perusahaan itu gencar menjual gas untuk pembangkit listrik dan industri.
Sepanjang 2017, PGN berhasil menjual gas 1.505 juta standar kaki kubik per hari.
Untuk pembangkit listrik, per Selasa (1/5/2018) PGN menyalurkan gas sebanyak 50 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) ke pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Muara Karang di Jakarta. Pembangkit itu dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali, anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Kontrak jual beli gas telah ditandatangani PLN dan PGN pada Februari untuk jangka waktu setahun. ”Kenaikan harga batubara akhir-akhir ini menjadi peluang bagi kami untuk mengambil pasar perusahaan pembangkit listrik yang hendak beralih ke bahan bakar gas. Apalagi, gas bumi lebih murah dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan batubara,” ujar Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama, kemarin, di Jakarta.
Sejauh ini, pasokan gas dari PGN sebanyak 1.505 MMSCFD ke seluruh wilayah Indonesia. Gas itu disalurkan kepada 196.221 pelanggan PGN yang terdiri dari sektor pembangkit listrik, industri manufaktur, usaha komersial, industri kecil dan menengah, serta pelanggan rumah tangga. Gas dialirkan melalui jaringan pipa sepanjang 7.543 kilometer.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Sofyan Basir saat berkunjung ke Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, pembangkit listrik tenaga gas dalam skala kecil akan diperbanyak. Pembangkit jenis ini menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel berbahan bakar solar. ”Semua akan dilakukan bertahap. Biaya operasi PLTD sangat mahal. Kami akan menggantikannya dengan pembangkit tenaga gas,” ujar Sofyan.
Berdasarkan data 2018, porsi bahan bakar gas dalam bauran energi pembangkit listrik yang dioperasikan PLN sebesar 14 persen. Angka ini masih tertinggal jauh dibandingkan dengan porsi batubara yang sebesar 62 persen. Adapun porsi bahan bakar minyak sebagai sumber energi pembangkit listrik PLN sebesar 4 persen.
Pemanfaatan gas di dalam negeri terkendala keterbatasan infrastruktur gas. Infrastruktur gas berupa unit penyimpanan dan regasifikasi terapung (FSRU) yang jumlahnya sangat terbatas. Di Indonesia, ada dua FSRU yang beroperasi, yaitu FSRU Jawa Barat dan FSRU Lampung, serta satu unit regasifikasi terapung (FRU) Benoa di Bali.
Keterbatasan infrastruktur tersebut membuat gas alam cair (LNG) yang diproduksi di Indonesia lebih banyak diekspor. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2016, pemanfaatan LNG di dalam negeri sebesar 420 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) atau jauh lebih sedikit ketimbang LNG yang diekspor, yang mencapai 2.020 BBTUD.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, konsumsi gas di dalam negeri diproyeksikan terus meningkat. Pada 2025, kontribusi gas bumi dalam bauran energi nasional sedikitnya harus mencapai 22 persen dan naik menjadi minimal 24 persen pada 2050.