DUBAI, KOMPAS – Kongres Federasi Realestat Internasional tingkat dunia berkomitmen merealisasikan pembangunan kota inklusif berkelanjutan. Pembangunan menuju kota layak huni bagi semua kalangan itu perlu mengedepankan perencanaan matang yang ditopang infrastruktur dan kebijakan pemerintah yang terintegrasi.
Presiden Federasi Realestat Internasional (FIABCI) Dunia Farook Mahmood mengatakan hal itu dalam FIABCI World Prix d’Excellence Award di Dubai, Uni Emirat Arab, Selasa (1/5/2018). Kegiatan tersebut dihadiri delegasi Realestat Indonesia (REI) yang dipimpin Ketua Umum REI yang juga Presiden FIABCI Asia Pasifik Soelaeman Soemawinata.
Dalam ajang penghargaan tertinggi FIABCI Dunia tersebut, Indonesia menyabet satu penghargaan Silver untuk kategori Mixed-Used Development. Penghargaan itu diraih Orchad Park Batam yang mengembangkan kawasan multiguna.
Menurut Farook, melalui tema ”Happy Cities”, Kongres FIABCI Dunia Ke-69 meletakkan dasar pembangunan kota yang mengedepankan kemanusiaan. Sebuah kota harus layak huni bagi semua kalangan, mampu menjawab persoalan urban, dan mengedepankan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
”Hal itu perlu diwujudkan melalui kolaborasi pengusaha atau pengembang, pemerintah, perencana kota dan bangunan, serta masyarakat. Membangun kota bahagia perlu menjadi praktik dunia,” ujarnya.
Sebuah kota harus layak huni bagi semua kalangan, mampu menjawab persoalan urban, dan mengedepankan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
Pendiri Happy Lab, Charles Montgomery, menyatakan, kota inklusif merupakan kota layak huni bagi semua kalangan, baik anak-anak, orang tua, maupun difabel. Ukuran kota tersebut tidak hanya kesejahteraan ekonomi, tetapi juga rasa aman dan nyaman bagi yang tinggal di dalamnya.
Sebuah kota dapat menciptakan efek psikologis warganya. Montgomery mencontohkan, orang yang setiap hari berjalan di jalan yang kumuh akan membuat orang semakin tidak peduli. Orang yang tinggal di lingkungan yang tidak aman akan membuat orang itu selalu cemas.
”Untuk merealisasikan kota yang layak huni, diperlukan perencanaan, kebijakan, dan pembangunan infrastruktur yang turut mempertimbangkan kenyaman dan keamanan warga. Inklusivitas atau layak bagi semua kalangan menjadi kuncinya,” tuturnya.
Tumbuhkan kota baru
Soelaeman mengemukakan, untuk mewujudkan kota inklusif di Indonesia, pola-pola pertumbuhan kota perlu diperhatikan. Ada kota yang sudah berusia ratusan tahun yang pada akhirnya mengalami beragam persoalan urban.
Solusinya adalah menumbuhkan kota-kota baru di sekitarnya. Pemerintah menyediakan infrastruktur yang mengintegrasikan kota-kota baru dengan kota lama, sedangkan dunia usaha mengembangkan lingkungan kota-kota baru itu.
”Solusi lainnya adalah meredistribusi ekonomi dengan memperkuat kota-kota yang memiliki sumber daya alam di luar Jawa. Jika redistribusi itu berhasil, urbanisasi bisa terminimalisasi,” ucapnya.
Di sisi lain, lanjut Soelaeman, pemerintah diharapkan memberikan kemudahan kepada dunia usaha agar dapat mengembangkan kota-kota baru pendukung kota lama. Selama ini perizinan pengembangan kawasan dan mendirikan bangunan, terutama di tingkat pemerintah daerah, masih menjadi kendala.
Pemerintah diharapkan memberikan kemudahan kepada dunia usaha agar dapat mengembangkan kota-kota baru pendukung kota lama.
Pada awal tahun ini, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia meluncurkan indeks kota layak huni atau most livable city index (MLCI) di Indonesia. Dari 26 kota di 19 provinsi, ada 7 kota yang masuk kategori layak huni di atas rata-rata, yaitu Solo dengan indeks layak huni 66,9, Palembang (66,6), Balikpapan (65,8), Denpasar (65,5), Semarang (65,4), Tangerang Selatan (65,4), dan Banjarmasin (65,1).
Selain itu, ada 10 kota yang masuk kategori tak layak huni. Kota-kota itu adalah Pontianak dengan indeks 62, Depok (61,8), Mataram (61,6), Tangerang (61,1), Banda Aceh (60,9), Pekanbaru (57,8 persen), Samarinda (56,9), Bandar Lampung (56,4), Medan (56,2), dan Makassar (55,7).
Aspek ketersediaan transportasi, keselamatan, kualitas air dan drainase, fasilitas pejalan kaki, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat dinilai menjadi lima indikator yang sangat memengaruhi penilaian kota tidak layak huni tersebut.