Presiden Joko Widodo menyebut China sebagai negara yang agresif mengembangkan kendaraan listrik di negaranya. Sembari mengutip artikel di Bloomberg, Presiden mengatakan ada ratusan ribu bus angkutan umum di China yang semula berbahan bakar minyak siap diganti dengan tenaga listrik.
Presiden mengatakan itu di hadapan pelaku industri hulu minyak dan gas bumi di acara pembukaan Konvensi dan Pameran Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) ke-42, Selasa (2/5/2018), di Jakarta. Menurut Presiden, apa yang terjadi di China juga tengah berlangsung di banyak negara lain di dunia.
Sekilas, Presiden seolah hendak menyampaikan pesan bahwa sekarang eranya energi bersih, energi terbarukan. Energi fosil sudah selesai. Tidak, bukan demikian. Namun, perlu dipahami pula bahwa pelaku bisnis hulu energi fosil tak boleh mengabaikan pengembangan energi terbarukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, peran minyak dan gas bumi pada 2050 mendatang masih sebesar 44 persen pada bauran energi nasional. Porsi itu masih lebih besar ketimbang target energi terbarukan yang sebesar 31 persen di tahun yang sama dalam bauran energi nasional.
Jelas sudah bahwa energi fosil masih menjadi tulang punggung energi di Indonesia. Sampai puluhan tahun ke depan, energi fosil masih menjadi primadona. Selain minyak dan gas bumi, ketergantungan pada batubara juga masih cukup besar.
Lalu, seperti apa arah kebijakan energi Indonesia? Kendati sudah ada berbagai perangkat aturan tentang energi, Indonesia seperti masih gamang menentukan arah. Dalam program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt, misalnya, sumber energi terbarukan untuk pembangkit listrik punya peran 25 persen. Sisanya didominasi oleh sumber energi fosil.
Belum lagi soal data energi terbarukan. Masalah ini sempat disinggung secara khusus oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar dalam forum energi terbarukan beberapa waktu lalu. Menurut dia, data riil potensi energi terbarukan, seperti sumber panas bumi, tenaga arus laut, belum tentu menunjukkan angka yang sebenarnya.
Jika kita masih ragu soal modal energi terbarukan yang kita miliki, lantas bagaimana kita mau mengembangkannya? Soal akurasi data potensi energi terbarukan saja masih menyisakan pekerjaan rumah tersendiri.
Relevan dengan topik awal yang disampaikan Presiden di atas, pemerintah sempat melontarkan wacana percepatan pemanfaatan tenaga listrik untuk transportasi. Ada rencana penjualan kendaraan berbahan bakar minyak dibatasi di tahun-tahun mendatang dan harus diganti oleh kendaraan tenaga listrik. Dan, seperti yang sudah-sudah, belum ada kejelasan perkembangan kebijakan tersebut.
Sebaiknya, kebijakan pengembangan energi terbarukan di Indonesia tidak perlu dipoles menjadi kebijakan pencitraan atau sekarang mengikuti tren, tetapi kita sendiri belum siap benar melaksanakannya. Yang ada justru kesimpangsiuran arah pengembangan.
Jika mau jujur, kebijakan energi kita masih punya pekerjaan yang sangat fundamental, yaitu pemerataan terhadap akses energi. Ingat, rasio elektrifikasi kita belum 99,99 persen. Selain itu, untuk mendapatkan bahan bakar minyak saja, tak seluruh rakyat Indonesia menikmati harga yang adil.
Namun, seperti yang disinggung Presiden, pengembangan energi terbarukan butuh kesungguhan dan harus disiapkan sejak sekarang agar kita tak sekadar menjadi pengekor.