Kerugian akibat Pembajakan Film Rp 5 Triliun
JAKARTA, KOMPAS — Potensi pendapatan produser yang hilang akibat pembajakan film secara nasional diperkirakan mencapai Rp 5 triliun. Upaya pencegahan dan penanganan kasus pembajakan dinilai belum maksimal.
Di sisi lain, model pembajakan dan pendistribusiannya terus berkembang hingga ke platform pemutaran film beraliran langsung dan media sosial.
Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Chaikal Nuryakin, memaparkan angka perkiraan kerugian secara nasional itu. Perkiraan nilainya bisa lebih besar jika ditambah kerugian yang dialami pelaku ekosistem industri perfilman lainnya, seperti bioskop, produsen DVD legal, dan pemilik laman legal pemutar film beraliran langsung (film streaming).
LPEM Universitas Indonesia melakukan riset pembajakan film di Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang, Sumatera Utara. Total responden 800 orang dengan latar belakang usia 15 tahun hingga lebih di atas 35 tahun. Survei dilakukan pada Oktober-Desember 2017.
Penelitian menggunakan metode Contingent Valuation Method untuk mengukur estimasi terhadap permintaan produk. Untuk kerugian atau potensi pendapatan yang hilang, LPEM menghitung dari kesediaan membayar produk film legal dan ilegal.
Sebanyak 66,26 persen responden adalah lulusan SMA. Responden memiliki pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan dan Rp 1,3 juta-Rp 2 juta per bulan. Mereka memiliki kemampuan membayar tiket bioskop, DVD, biaya berlangganan TV kabel, dan platform legal pemutar film beraliran langsung.
”Kebiasaan menonton film hasil bajakan tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan atau ekonomi. Mereka sebenarnya sanggup membayar produk legal, tetapi mereka melihat lingkungan sekitar terbiasa mengonsumsi konten ilegal. Internet memudahkan mereka mengakses hasil bajakan,” ujar Chaikal, Kamis (3/5/2018), di Jakarta.
Dari hasil penelitian di empat kota itu, LPEM menghitung total kerugian langsung yang dialami produser mencapai Rp 1,495 triliun per tahun.
Perilaku penonton
Founding Director and Counsel Centre for Content Promotion Pte Ltd Frank Rittman menceritakan, perilaku menonton sekarang lintas media dan platform. Konsumen kini menginginkan dapat mengakses film dari berbagai sumber media dan platform. Hal ini membuka peluang pembajakan.
Hasil penelitian Centre for Content Promotion Pte Ltd menunjukkan, tingkat keterlihatan atau keterbacaan (page views) konten di laman ilegal di Indonesia 8,92 kali lebih tinggi dibandingkan laman legal. Sekitar 83,95 persen iklan juga muncul di laman pemutar film bajakan.
Sejauh ini, kata Frank, pemblokiran laman ilegal adalah solusi terbaik. Setidaknya, pemblokiran mampu mengurangi lalu lintas kunjungan (traffic) ke laman ilegal sebesar 74-94 persen selama enam bulan periode aktivitas penutupan.
Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni menyebutkan, rata-rata biaya produksi film Indonesia berkisar Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar. Biaya pengeluaran sebesar itu sering kali tidak sepadan dengan penerimaan.
”Sebagian besar judul film Indonesia ditonton di bawah 500.000 orang. Dengan adanya pembajakan, kami semakin rugi,” ujarnya.
Di kalangan produser film, Aprofi melihat kesadaran mengadukan pembajakan karya sudah tinggi. Namun, mereka sering kali harus berhadapan dengan panjangnya proses birokrasi mengurus pengaduan.
Manajer Urusan Kelembagaan/Pemerintahan Cinema XXI Suprayitno mengatakan, model pembajakan film terus berkembang. Dia mencontohkan, kejadian yang marak belakangan adalah penonton merekam film di bioskop menggunakan ponsel pintar lalu mendistribusikannya melalui media sosial. Kejadian seperti itu terjadi pada penayangan film baru.
”Sebelum pemutaran film, kami biasa menayangkan sosialisasi bentuk dan sanksi tindakan pembajakan. Kami juga melakukan pengawasan selama penayangan film. Kami pernah menangkap penonton yang merekam memakai ponsel pintar dan kami hanya bisa menegur,” katanya.
Delik aduan
Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema mengemukakan, pihaknya sempat membentuk satuan tugas penanganan pengaduan pembajakan produk ekonomi kreatif selama kurun waktu 2016-2017. Satgas ini beranggotakan internal Bekraf. Fungsinya sebatas mendampingi pelaku usaha yang menjadi korban pembajakan dan mengedukasi masyarakat.
Serupa seperti upaya Bekraf, Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Yurod Saleh mengklaim telah melakukan langkah pencegahan, seperti sosialisasi hukum pidana pembajakan film ke pusat-pusat perbelanjaan. Melalui sosialiasi ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya penghargaan hak cipta film.
”Kami tidak bisa melakukan upaya proaktif di luar sosialisasi. Kasus-kasus penyalahgunaan hak cipta, seperti pembajakan, hanya bisa ditindaklanjuti karena ada delik aduan. Ini menyulitkan kami ditambah lagi kesadaran masyarakat melapor pembajakan masih rendah,” ujarnya.
Pada saat kasus sudah masuk proses tindak lanjut, Yurod mengatakan, masih ada kesulitan koordinasi antarkementerian dan lembaga. Sebagai contoh, Ditjen Kekayaan Intelektual mengeluarkan rekomendasi pemblokiran laman ilegal pemutar film beraliran langsung kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Setelah itu, informasi perkembangan penutupan laman sering tidak disampaikan dengan cepat.