NUSA DUA, KOMPAS — Cara-cara pemasaran bersifat tradisional dengan mengandalkan data agregat sudah tidak lagi memadai. Kini, dengan keberadaan media digital, khususnya media sosial, pemasaran mampu menarget konsumen secara individual.
Namun, cara-cara ini harus dilakukan dengan bijak dan tetap memperhatikan etika agar tidak muncul penyalahgunaan data. Dengan data, ilmu perilaku bisa diterapkan dalam pemasaran yang semakin personal.
President The Ogilvy Center for Behavioral Science Christopher Graves dalam salah satu sesi berjudul The Real Why The Real Who: Wired for Dirt, but Living in Digital di Asia Pasifik Media Forum 2018 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/5/2018), mengatakan, pengukuran secara tradisional menggunakan basis data demografi dan survei keinginan konsumen sudah tidak memadai. Dengan berbasis data di media sosial, pemasaran bisa dikemas untuk individu tertentu. Sebab, dari data bisa dibuat interpretasi kebutuhan dasar manusia sejalan dengan unggahan di medsos.
”Meski cara ini disalahgunakan Cambridge Analytica, tetapi dengan pemasaran yang sifatnya personal maka perusahaan bisa berkomunikasi lebih dekat lagi dengan konsumen. Dengan data itu, pemasar mengetahui kepribadian konsumen dan bisa memengaruhi konsumen. Mereka yang menang adalah yang memahami itu dan melakukan eksekusi berdasarkan data kepribadian konsumen,” ujarnya.
Pengetahuan tentang konsumen meliputi informasi kepribadian, pandangan, dan gaya hidup. Ilmu ini sudah lama berkembang, tetapi data personal tidak pernah didapat. Begitu ada media sosial, data itu mudah didapat. Dengan data itu, pemasar mudah mengetahui kesukaan terhadap produk tertentu dan preferensi lainnya.
Sementara itu, Director Hakuhodo Institute of Live & Living ASEAN Devi Attamimmi dan International Business Director Hakuhodo Takeyuki Sakaguchi dalam sesi berjudul Men Vs Woman, Who Rules the House? mengatakan, berbasis pada riset yang dilakukannya, ada empat tipe rumah tangga di ASEAN, yakni tradisional, beralih, berbagi secara fleksibel, dan berbagi tugas. Seluruhnya tengah berubah.
”Tipe tradisional meletakkan perempuan sebagai yang mengurus rumah tangga. Di rumah tangga ini sering muncul kalimat, jangan bicara urusan rumah tangga karena hal itu urusan perempuan,” kata Devi.
Di tipe ini tingkat kepuasaan mencapai 72 persen. Di tipe beralih, sering muncul kalimat, ibuku selalu mengikuti yang dikatakan bapakku, aku tidak mau mengikuti seperti itu. Tingkat kepuasaan di keluarga tipe ini mencapai 65 persen.
Di keluarga tipe berbagi secara fleksibel tidak ada pembagian urusan antara laki-laki dan perempuan. Mereka biasa saling berbagi tugas. Saat istri bekerja, maka suami biasa mengerjakan urusan rumah tangga. Tingkat kepuasaan berumah tangga seperti ini mencapai 74 persen. Sementara untuk tipe berbagi tugas (task based sharing) suami dan istri selalu berkolaborasi sehingga sering muncul kalimat kami mengerjakan semuanya secara bersama-sama. Tingkat kepuasaan berumah tangga seperti ini mencapai 87 persen.
”Apabila dilihat secara menyeluruh, rumah tangga yang dominan adalah mereka yang saling berbagi dengan total 76 persen. Tipe tradisional sudah mulai menurun sehingga pemasar yang melihat dengan pendekatan tipe tradisional itu bakal tidak sukses. Di dalam keluarga, mereka akan berbagi kebutuhan ketika mereka mengidentifikasi kebutuhan. Mereka akan berbagi informasi ketika mereka mulai memilih. Saat akhirnya memutuskan, maka mereka akan berbagi keputusan,” kata Devi.
Keputusan berbasis jender ternyata sudah tidak memadai. Kini keputusan berbasis pada pasangan. Fenomena ini terlihat seperti saat mereka memutuskan melakukan perjalanan. Perusahaan sebagai pemilik merek bisa masuk ke dalam keluarga dengan meningkatkan kemampuan suami dan istri dalam hal sumber daya dan pengetahuan.
”Laki-laki dan perempuan tidak lagi ada yang berkuasa, tetapi yang ada adalah mereka berbagi. Fenomena ini muncul karena saat ini di dalam keluarga di ASEAN umumnya suami dan istri bekerja,” kata Devi.