NUSA DUA, KOMPAS--Pemasangan iklan yang hanya berbasis teknologi digital tidak menjawab efektifitas pemasaran. Kasus-kasus penipuan masih sering dilakukan dan merugikan pemilik merek. Beberapa kalangan menyatakan, strategi iklan silang media menjadi jawaban bagi pemilik merek untuk memasarkan produk secara lebih efektif.
Pendiri dan CEO XIX Entertainment yang juga kreator American Idol Simon Fuller kepada Kompas di sela Asia Pasific Media Forum 2018 di Nusa Dua, Bali, Jumat (4/5/2018), mengatakan, ia menggunakan berbagai media untuk memasarkan produk. Media itu mulai dari media sosial hingga berbagai media konvesional, termasuk media cetak. Pemilihan ini sangat bergantung pada target audiens dan konten yang dipasarkan.
“Saya yakin semua media masif efektif. Sekarang bergantung pada pembuat konten yang harus kreatif. Semua media digunakan untuk menyalurkan konten yang menarik,” kata Simon.
Ia yakin produk-produk budaya populer pun masih membutuhkan berbagai media untuk menyampaikan berbagai pesan bagi audiensnya.
Beberapa pembicara dalam forum ini pada hari pertama dan kedua juga telah menyinggung silang media yang dilihat akan efektif dalam menyampaikan pesan kepada audiens. Kombinasi berbagai media mampu menyasar audiens yang berbeda, baik karena perbedaan geografis maupun pemahaman tentang konten.
Sementara itu, Global Vice President Digital Audience Measurement Nielsen Marissa McArdle dalam sesi berjudul Distorted Reality : KPIs x AdFraud mengatakan, salah satu strategi belanja iklan digital mengalami kenaikan. Namun, ternyata ada masalah seperti penipuan dalam pengukuran efektifitas iklan digital. Ada dua skenario penipuan dalam bentuk lalu lintas (traffic) yang tidak valid, yaitu menggunakan mesin (bot) dan pembacaan iklan yang sering terlihat menyeluruh padahal sebenarnya hanya sebagian.
“Padahal investasi yang dikeluarkan melalui belanja iklan sudah besar. Dari 568 juta dollar AS belanja iklan, sekitar 49 persen tidak efektif karena tidak dilihat. Dari jumlah yang dilihat, sebanyak 12 persennya hilang karena penipuan, dan ada kehilangan karena sebab lainnya,” kata Marissa.
Padahal, selama ini kinerja karyawan melalui KPI (Key Performance Index) berdasar pada efektifitas iklan digital tersebut.
Untuk mengatasi masalah itu, ia mengusulkan agar perusahaan melakukan pengukuran pasar secara konsisten, menghindarkan terjadi duplikasi audiens mereka saat pengukuran, dan penggunaan pihak ketiga untuk melakukan pengukuran agar terhindar dari kecurangan. Salah satu cara yang bisa dilakukan secara strategis adalah menggunakan silang media (cross media) untuk menyampaikan pesan kepada audiens.
Nantinya, agar perusahaan bisa efektif dalam menjangkau audiens, maka mereka harus melakukan beberapa perubahan, seperti fokus pada audiens inti atau audiens yang penting, mencari cara iklan yang efektif untuk mencapai audiens, dan pengukuran secara independen untuk menghilangkan bias.
Chief Strategy Officer Havas Apac Josh Gallaher dalam sesi berjudul Where We’ve Gone Wrong in Mixing the Art & Science of Marketing Together mengatakan, banyak kalangan meyakini bahwa teknologi akan menggantikan cara-cara kovensional. Bisnis akan menjadi efisien karena teknologi dan sains berdampak pada cara memasarkan.
“Akan tetapi, sains sering disalahgunakan. Ketika bicara pengukuran berbasis data, maka sebenarnya hanya 11 persen orang yang mau memberikan data untuk pelayanan yang lebih baik. Banyak orang juga tidak peduli dengan merek yang hilang. Sekitar 74 persen merek hilang dan orang tidak peduli,” kata Josh.
Dari sebuah survei diketahui, sebanyak 74 persen perusahaan di Indonesia tidak memahami penggunaan data.
Josh melihat, penggunaan sains semata tidak mencukupi. Dalam rumusan Josh, pendekatan sains yang menggunakan data itu untuk pemasaran melalui cara-cara programatik, personalisasi, dan prediksi. Akan tetapi, seni (art) akan membantu proses pemasaran yang sesuai dengan visinya.