Indeks Daya Saing Sejumlah Produk Ekspor Utama Turun
JAKARTA, KOMPAS — Daya saing dan pangsa pasar sejumlah produk dan komoditas ekspor utama Indonesia ke dunia menurun. Padahal, produk dan komoditas itu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan serapan tenaga kerja.
Untuk itu, di tengah fokus pengembangan industri 4.0, pemerintah juga tetap perlu memperhatikan produk-produk andalan utama itu. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk dan komoditas yang sudah memiliki daya saing dan pangsa pasar global yang baik.
Tim ekonom Bank Mandiri mencatat, berdasarkan indeks keunggulan komparatif (RCA) 13 produk dan komoditas ekspor utama Indonesia pada 2010-2016, sejumlah produk dan komoditas Indonesia masih memiliki daya saing tinggi dan pangsa pasar global baik. Produk-produk itu antara lain minyak kelapa sawit mentah (CPO) dengan indeks RCA pada 2016 sebesar 56,85, karet 31,35, perhiasan 4,3, kertas 2,3, dan alas kaki 3,79.
Jika nilai RCA lebih tinggi dari 1, produk mendapatkan daya saing di pasar global; lebih rendah dari 1 berarti kalah bersaing. Namun, di sisi lain, dalam periode itu, indeks RCA sejumlah produk dan komoditas ekspor utama ada yang menurun secara signifikan. Indeks RCA furnitur pada 2010 sebesar 1,16 dan pada 2016 menjadi 0,8, elektronik dari 0,51 menjadi 0,39, dan besi-baja dari 0,95 menjadi 0,91.
Adapun berdasarkan pangsa pasar global, di antara 13 produk dan komoditas ekspor utama Indonesia yang menurun kontribusinya adalah pakaian jadi, furnitur, kayu lapis, dan elektronik. Kontribusi pakaian jadi turun dari 2,3 persen pada 2010 menjadi 1,5 persen pada 2016, furnitur 1,9 persen menjadi 0,7 persen, kayu lapis dari 28,9 persen menjadi 14,6 persen, dan elektronik dari 0,7 persen menjadi 0,4 persen. Padahal, khusus untuk pakaian jadi dan kayu lapis, indeks RCA-nya pada 2016 masih relatif tinggi, yaitu masing-masing 3,79 dan 16,15.
Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani kepada Kompas, Minggu (6/5/2018), mengatakan, Indonesia perlu mendorong industri yang telah memiliki daya saing dan pangsa global yang baik. Industri itu sudah ada sejak lama di Indonesia dan memiliki basis sumber daya alam domestik yang berlimpah.
Jadi, industri yang perlu didorong untuk industri padat karya adalah tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki. Untuk industri berbasis sumber daya alam adalah industri minyak nabati CPO, pengolahan karet, dan pengolahan mineral tambang.
”Kemudian yang baru tumbuh dan perlu didorong adalah industri otomotif dan elektronik. Fokus pengembangannya dengan cara meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk,” katanya.
Dendi menambahkan, peningkatan kualitas produk perlu dilakukan mengikuti perkembangan zaman dan permintaan pasar. Misalnya, produk pakaian jadi diperkaya dengan dengan desain yang inovatif dan kualitas bahan yang terus meningkat sehingga nilai tambahnya semakin besar.
Sementara untuk diversifikasi produk, misalnya pengembangan industri karet ke berbagai produk karet yang berkualitas, tidak hanya berhenti di karet kering, tetapi juga ban, sarung tangan, dan berbagai macam produk karet lain.
Industri yang perlu didorong untuk industri padat karya adalah tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki. Untuk industri berbasis sumber daya alam adalah industri minyak nabati CPO, pengolahan karet, dan pengolahan mineral tambang. Kemudian yang baru tumbuh dan perlu didorong adalah industri otomotif dan elektronik. Fokus pengembangannnya dengan cara meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengemukakan, dalam tujuh tahun terakhir, ekspor tekstil dan garmen Indonesia ke dunia turun 2-3 persen per tahun. Selain faktor daya saing yang rendah, tekstil dan garmen Indonesia kalah dibandingkan negara-negara lain yang sudah membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara pengimpor dengan bea masuk 0 persen.
”Ekspor tekstil dan garmen ke AS, misalnya, Indonesia yang pada 2010 berada di peringkat ke-3 kini ada di peringkat ke-6. Peringkat itu tergeser Vietnam, Bangladesh, dan India yang produk-produk tekstil dan garmennya berdaya saing tinggi,” katanya.
Penasihat Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Daud Husni Bastari, mengatakan, daya saing industri karet Indonesia perlu diperkuat karena masih tertinggal dari negara-negara produsen karet di ASEAN. Selama ini, dunia kurang memperhitungkan industri hilir karet Indonesia karena nilai tambah produk masih minim dan bahan bakunya rendah.
”Selain itu, lobi perdagangan negara-negara produsen karet di ASEAN juga lebih unggul dari kita. Pada akhirnya, kita akan selalu menjadi pasar dari produk-produk industri hilir karet negara-negara lain,” katanya.
Pasar China
Sedikitnya 1.100 pengusaha dari sejumlah negara dipastikan turut serta dalam Pameran Impor Internasional China, 5-8 November 2018. Peserta pada pameran impor pertama oleh Pemerintah China itu diyakini akan terus bertambah. Han Ye dari Biro Pameran Impor Internasional China saat bertemu wartawan dari negara-negara ASEAN di lokasi rencana pameran akan digelar, yaitu di National Exhibition and Convention Center, Shanghai, China, akhir pekan lalu, menyebut, sudah ada sedikitnya 1.700 pengusaha lain yang berencana turut berpartisipasi.
Pengusaha Indonesia termasuk yang telah memastikan turut berpartisipasi. Ada empat pengusaha yang telah mendaftar, antara lain Maspion Group dan Bagus Group. ”Kami terus menjalin komunikasi dengan mitra kami di Indonesia,” kata Han Ye, seperti dilaporkan wartawan Kompas, A Ponco Anggoro, dari Shanghai, Minggu.
Direktur untuk Divisi Informasi dan Hubungan Masyarakat ASEAN-China Centre Vithit Powattanasuk mengatakan, hingga kini China menjadi mitra dagang utama bagi negara-negara ASEAN. Produk-produk dari ASEAN, termasuk dari Indonesia, sudah dikenal masyarakat China.
Menurut Wakil Direktur Jenderal Biro Pameran Impor Internasional China Zhong Xiaomin, pameran itu merupakan langkah besar Pemerintah China untuk membuka lebih luas pasar China. Ini sekaligus menunjukkan komitmen China untuk membuka diri terhadap produk-produk dari luar serta mendukung globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas.