JAKARTA, KOMPAS — Sebulan menjelang masa panen garam akhir Juni 2018, pemerintah mulai menyiapkan mekanisme resi gudang untuk menyerap garam rakyat. Namun, penerapan resi gudang masih terbatas dan belum disertai harga patokan pemerintah untuk garam hasil panen.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Mohammad Abduh Nurhidajat di Jakarta, akhir pekan lalu, mengemukakan, menjelang panen garam, pemerintah tengah menyiapkan perangkat resi gudang untuk mulai diterapkan pada musim panen tahun ini. Resi gudang itu untuk mengantisipasi harga garam jatuh saat panen raya.
Dari 12 gudang garam nasional yang dibangun pemerintah, sistem resi gudang secara mandiri baru akan diterapkan di tiga lokasi, yakni Indramayu (Jawa Barat), Pati (Jawa Tengah), dan Pamekasan (Jawa Timur). Resi gudang itu akan dikelola oleh koperasi melalui kerja sama dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
”Target penyerapan hasil panen garam untuk resi gudang minimal 2.000 ton, sesuai dengan kapasitas gudang,” katanya.
Mekanisme resi gudang berupa penitipan garam hasil panen oleh petambak di gudang garam untuk selanjutnya diterbitkan resi gudang oleh pengelola. Petambak yang menitipkan garam tersebut akan memperoleh resi gudang yang dapat dicairkan di bank. Resi gudang dapat pula dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit bank sebesar 70 persen dari harga garam yang dititipkan dengan tingkat suku bunga 6 persen per tahun.
Abduh mengatakan, hingga kini, pemerintah belum menerbitkan harga pokok penjualan (HPP) garam. Kewenangan penetapan HPP berada di Kementerian Perdagangan, sedangkan penyerapan oleh unit usaha industri dalam pengawasan Kementerian Perindustrian.
Secara terpisah, petambak garam berharap ada mekanisme perlindungan terhadap produksi garam lokal agar terserap pasar dengan harga wajar.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Jawa Timur Muhammad Hasan memprediksi, musim panen garam akan dimulai akhir Juni 2018. Musim panen tahun ini diharapkan lebih baik dibandingkan tahun lalu karena iklim yang lebih kondusif. Meski demikian, kekhawatiran muncul terkait rendahnya serapan garam rakyat.
Stok garam rakyat dari hasil produksi tahun 2017 hingga kini masih belum terserap optimal. Kendala serapan garam lokal antara lain sebagian stok garam ada di pengepul sehingga harga sulit dikendalikan. ”Penyerapan garam tersendat-sendat. Hanya ada dua perusahaan yang menyerap,” ujar Hasan.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, harga garam rakyat jauh lebih tinggi dibandingkan garam impor. Harga garam impor saat ini berada pada kisaran Rp 680-Rp 700 per kilogram, sedangkan harga garam lokal mencapai Rp 2.300-Rp 2.500 per kilogram.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengemukakan, pihaknya banyak menerima masukan dari petambak tentang kekhawatiran garam impor merembes ke pasar lokal. Saat ini, stok garam rakyat di sejumlah wilayah masih belum terserap optimal seiring masuknya impor garam.
”Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan agar garam impor tidak sampai mengganggu stabilitas harga garam petani,” kata Yugi.
Tahun 2018, impor garam untuk kebutuhan industri naik menjadi 3,7 juta ton.