Cita Rasa Khas Kopi Sembalun yang Mendunia
Lombok tidak semata pesona pantai yang indah dan panorama Gunung Rinjani. Di sana, ada pula budidaya kopi di kaki Gunung Rinjani, tepatnya di Sembalun. Kopi Sembalun semakin diminati seiring berkembangnya pariwisata di kawasan tersebut.
”Saya, kalau minum kopi Sembalun, sekali seruput, rasanya sampai ubun-ubun, pusing,” kata Arman, warga Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, saat berbincang dengan H Lalu Kanahan, Kepala Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Jumat (23/3/2018).
Saat itu Arman disuguhi secangkir kopi. Ia hanya dua kali menyeruput kopi itu lalu ”angkat tangan”. ”Rupanya side (Anda) tidak biasa minum,” ujar Kanahan yang hingga Jumat pagi hingga siang itu sudah menenggak empat gelas kopi tanpa gula.
Kanahan agaknya sama halnya dengan masyarakat Pulau Lombok yang umumnya ”tukang ngopi”. Karena itu, jangan heran, setiap kali bertamu, tuan rumah selalu menyuguhkan kopi. Tradisi itu didukung ketersediaan lahan di Kecamatan Sembalun. Ada enam desa yang membudidayakan tanaman kopi, yakni Desa Sembalun, Sembalun Lawang, Sembalun Bumbung, Bilok Petung, Timba Gading, dan Desa Sajang.
Masyarakat menanam kopi di lahan kebun secara tumpang sari dengan cokelat, vanili, cengkeh, pisang, dan lainnya. Kopi yang dibudidayakan di kecamatan berjarak 107 kilometer dari Mataram itu jenis robusta dan arabika. Sementara areal lahan basah seluas 4.100 hektar di wilayah itu umumnya ditanami tanaman hortikultura, seperti bawang putih sebagai produk unggulan. Bawang putih membuat petani setempat relatif sejahtera.
Keasyikan meraup hasil dari bawang putih, warga pun mengesampingkan kopi. Padahal, komoditas itu dibudidayakan sejak tahun 1942 yang dirintis seorang etnis Tionghoa. Bahkan, tanaman kopi pernah dirambah kemudian ditanami bawang putih. Apalagi produk kopi tidak laku dijual dan sebatas untuk konsumsi keluarga. ”Sebakul kecil kopi hanya dibarter dua ekor pindang,” ucap Sahidul Wathon (39), warga Desa Sembalun.
Untuk mengangkat kembali kopi di kecamatan seluas 217,8 kilometer persegi itu, Wathon dan kawan-kawan membeli biji kopi dari petani setempat, lalu dijual. Hasilnya, kopi itu tak ada pembelinya.
”Saya malah ditertawai karena menjual kopi. Maklum jarang ada yang mau beli,” ujar Jayadi, warga Mentagi, Desa Sembalun.
Babak baru
Babak baru kopi Sembalun dimulai tiga tahun lalu, menyusul desa-desa di kecamatan yang berketinggian 800-1.156 mdpl itu menjadi destinasi wisata, terutama menjadi pintu keluar-masuk bagi pendakian di Gunung Rinjani (3.726 mdpl). Perkembangan itu sudah diantisipasi Wathon dan Jayadi. Seiring perkembangan pariwisata di kawasan itu, permintaan kopi pun meningkat. Keduanya kini jadi peracik kopi di Sembalun.
Mereka pun memiliki kedai kopi, juga memproduksi kopi biji dan bubuk dalam kemasan. Produk kopi Wathon bermerek Kopi Pahlawan dan Jayadi menamakan produknya Kopikey. Kedai mereka selalu disinggahi wisatawan domestik dan mancanegara.
Begitu banyaknya peminat membuat produksi kopi Sembalun selalu terjual habis di pasar lokal. Minat dan gairah petani setempat menanam kopi pun meningkat. Di kecamatan berpenduduk sekitar 20.000 jiwa itu, produksi robusta kini rata-rata 40 ton dan arabika 20 ton. Jayadi, misalnya, setahun memerlukan 500 kg biji kopi, yang dijual kemasan (biji dan bubuk), selain untuk keperluan tamu di kafe miliknya.
Dalam aktivitas usahanya, Jayadi dibantu 14 pekerja: tenaga sortir, sangrai, hingga pengepakan. Mereka bekerja selama empat bulan, dengan upah Rp 55.000 per hari, yang merupakan penghasilan sampingan, selain menggarap sawah dan buruh tani menanam kentang, bawang putih, bawang merah, stroberi, dan sayuran lain.
Singing Dog
Menyusul produk kopi yang mulai merambah pasar, muncul usaha kopi rumahan di kecamatan berhawa sejuk itu. Sebutlah Kelompok Usaha Kopi Organik ”Gerok Sokong” di Desa Sajang, yang didirikan tahun 1997. Produk kopi biji milik 41 anggota kelompok dipasarkan dengan merek Kopi Organik Sajang-Sembalun.
Menurut Supaedi (40), ketua kelompok itu, 2 hektar lahannya ditanami 3.000 batang pohon kopi arabika dan robusta. Tahun 2017 dipanen 800 kg biji kopi robusta yang dijual Rp 26.500 per kg dan 15 kg kopi arabika seharga Rp 100.000-Rp 150.000 per kg.
Sumalip (60), tetangga Supaedi, juga mengaku memiliki 2 hektar lahan yang ditanami 3.000 batang pohon kopi. Saat panen pada Mei 2017, Sumalip memanen 3 kuintal robusta lalu dijual seharga Rp 25.000 per kg. Penghasilan keduanya belum termasuk dari tanaman lain, seperti penjualan buah durian, cengkeh, dan cokelat, yang bisa dipanen setiap tahun.
Supaedi, misalnya, tahun lalu menjual 18 kg vanila basah seharga Rp 500.000 per kg. Hasil penjualan komoditas perkebunan dimanfaatkan untuk membangun rumah dan biaya sekolah anak-anaknya.
Keberhasilan warga dari usaha kopi tidak lepas dari cita rasa dan aroma khas kopi itu. ”Kopi (robusta) Sembalun punya aroma khas. Ada rasa rempah, cokelat, dan karamel,” ungkap Wathon. Sementara ”Kopi (arabika) Sajang lebih keras rasa asam dan pahitnya,” ucap Kanahan.
Malah kopi arabika produk Desa Sajang menjadi bahan baku produk Singing Dog Vanilla yang dipasarkan di Amerika Serikat. Kopi vanila untuk kemasan 283,5 gram di AS dijual 100 dollar AS. Agaknya rasa kopi Sembalun sudah mendunia.