Model Kebijakan dan Bisnis Baru Diperlukan
JAKARTA, KOMPAS--Tantangan ketidakpastian global dan globalisasi semakin kuat. Ketidakpastian global itu terutama disebabkan kecenderungan proteksi perdagangan dan kenaikan suku bunga acuan global.
Adapun globalisasi telah memunculkan revolusi industri 4.0 yang berpotensi mendisrupsi berbagai sektor ekonomi.
Pemerintah setiap negara perlu menjawab tantangan itu dengan kebijakan yang tepat dan kontekstual. Setiap negara juga perlu mempertahankan kerja sama multilateral. Sementara, korporasi perlu menyesuaikan tantangan itu dengan mengembangkan model bisnis baru.
Hal itu mengemuka dalam dialog global yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Pacific Economic Cooperation Council (PECC) di Jakarta, Senin (7/5/2018). “Dialog bertema Global Disorder: The Need for New Regional Architecture and Business Model?” itu antara lain menghadirkan pembicara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Professorial Fellow of Economics Universitas Melbourne Ross Garnaut, serta sejumlah ekonom dan CEO dari dalam dan luar negeri.
Ross Garnaut mengatakan, ketidakpastian global membutuhkan tindakan bersama yang terpadu dari semua pihak. Di sektor ekonomi global, ada empat tindakan bersama yang mesti dilakukan, yaitu mengelola perdagangan terbuka, mengupayakan stabilitas makroekonomi, mendukung pertumbuhan global, dan memitigasi dampak perubahan iklim.
“Untuk mengantispasi dampak perang dagang Amerika Serikat dan China, masing-masing negara perlu meningkatkan kerja sama regional. Setiap negara juga perlu memerhatikan negara pemicu pertumbuhan ekonomi baru setelah AS dan China, seperti India,” kata Garnaut.
Komitmen
Sri Mulyani mengemukakan, untuk menghadapi tren memproteksi perdagangan, dunia harus mempunyai komitmen bersama mempertahankan kerja sama multilateral. Perdagangan bebas yang adil harus menjadi pijakan bersama.
Selain itu, setiap negara perlu memitigasi atau memperbaiki dampak kerusakan sistem akibat ketidakpastian global dan revolusi industri 4.0. Indonesia telah melakukan sejumlah langkah, antara lain memperkuat jaring pengaman sosial, memperkuat kemampuan sumber daya manusia melalui pendidikan formal dan vokasi, serta membangun sistem keuangan yang kuat.
“Kami juga ingin menempatkan usaha konvensional dan digital bermain di level yang sama. Salah satunya adalah menyerukan kepada kementerian-kementerian keuangan negara lain untuk memungut pajak usaha digital,” kata dia.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, lanjut Sri Mulyani, juga akan memanfaatkan teknologi blockchain untuk efisiensi, transparansi, dan pembuatan data raksasa sektor keuangan. Pemanfaatan itu tetap mengedepankan perlindungan data konsumen.
Airlangga mengatakan, untuk mewujudkan Making Indonesia 4.0, pemerintah telah bekerja sama dengan lembaga penelitian Jerman The Fraunhofer Institute for Production Systems and Design Technology IPK. Kerja sama itu untuk mengembangkan pendidikan vokasi yang terintegrasi antara lembaga pendidikan dengan industri dan menyusun kebijakan membuat pusat inovasi industri kecil menengah.
“Kami berupaya mengatasi disrupsi tenaga kerja yang berpotensi muncul karena perkembangan industri 4.0,” kata Airlangga.
Dalam dialog global terungkap sejumlah korporasi telah mengadopsi teknologi informasi, baik untuk efisiensi internal maupun mendukung program pemerintah. Di sektor perbankan, bank-bank bekerja sama dengan pelaku usaha teknologi finansial, meningkatkan kapabilitas teknologi untuk mendorong pertumbuhan keuangan inklusif, dan mewujudkan masyarakat tanpa uang tunai.