JAKARTA, KOMPAS — Dunia perikanan Indonesia diakui masih banyak masalah. Masalah penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem sampai ketersediaan peralatan pendingin dan transportasi hasil perikanan masih terjadi di mana-mana. Namun, pemerintah meyakinkan bahwa satu per satu masalah dibenahi.
Presiden Joko Widodo mengakui hal ini seusai mendengarkan keluhan nelayan-nelayan dalam Silaturahim Presiden RI dengan Perwakilan Nelayan Seluruh Indonesia dan Peserta Rembuk Nelayan Nasional 2018 serta Musyawarah Nasional VII Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/5/2018) siang. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mendampingi Presiden kemarin. Adapun nelayan yang hadir berkisar 350 orang dari Demak, Pekalongan, Indramayu, Rembang, Serang, dan Cirebon.
Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Mamberamo Tengah Marince menjelaskan, nelayan-nelayan di Mamberamo sesungguhnya bisa mendapatkan banyak ikan sebab ketika sungai pasang, ikan-ikan malah terdampar di daratan. Namun, nelayan tak bisa mengumpulkan ikan terlalu banyak karena tidak ada transportasi untuk mengangkut ikan dan alat pendingin untuk menjaga kesegaran ikan. Padahal, di Mamberamo Tengah, terdapat 2.000 nelayan yang 80 persennya adalah perempuan. Nelayan di Mamberamo Tengah pun tak hanya menangkap ikan, tetapi juga menangkap buaya.
Presiden Jokowi pun berseloroh ingin segera mengunjungi Mamberamo Tengah dan melihat nelayan perempuan penangkap buaya tersebut. Dia mengakui, kendati pembangunan infrastruktur di Papua sudah dimulai, di banyak daerah, transportasi dan pengangkutan masih menggunakan pesawat khusus dan kecil. Untuk itu, pemerintah akan membangun lebih banyak infrastruktur di Papua.
Adapun Joni dari Desa Kartawinangun, Kabupaten Indramayu, menjelaskan, nelayan di daerahnya sangat terganggu dengan cantrang. Akibat penggunaan cantrang, penghasilan nelayan pun menjadi tak menentu.
Presiden pun mengakui, peralihan cantrang ke alat tangkap yang ramah lingkungan terus berjalan. ”Ini yang disebut Bu Susi bahwa cantrang itu tidak mudah, perlu transisi, nelayan pakai cantrang tidak sedikit, tetapi perlu pindah ke jaring ramah lingkungan agar ikan makin banyak di samudra kita. Jangan berpikir pendek setahun dua tahun sebab kita masih punya anak cucu cicit yang harus menikmati,” kata Presiden.
Presiden mengakui, peralihan cantrang ke alat tangkap yang ramah lingkungan terus berjalan.
Presiden menambahkan, berbagai masalah memang disampaikan setiap menyambangi para nelayan di daerah. ”Memang masih banyak persoalan. Banyak yang dibenahi, tetapi tidak mungkin instan,” ujarnya.
Transisi penangkapan ikan menuju alat tangkap ramah lingkungan, menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Sjarief Widjaja, sejauh ini hampir semua nelayan kecil dengan kapal di bawah 10 gros ton sudah menerima alat pengganti cantrang. Hanya beberapa titik yang belum menerima alat pengganti. Adapun untuk nelayan dengan kapal di atas 10 gros ton, sudah dilakukan pendataan.
Dengan alat-alat tangkap pengganti itu, KKP mendorong para nelayan meluaskan wilayah tangkapan ke timur Indonesia, seperti Arafura, Dobo di Tual, dan Merauke. Para nelayan pun gembira karena di wilayah-wilayah tangkapan baru ini, nelayan bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak. Untuk daerah-daerah seperti Dobo, Merauke, dan Timika, kehadiran nelayan-nelayan ini sekaligus menggerakkan perekonomian mereka.
Terkait keluhan masih adanya cantrang yang digunakan, Syarief berjanji akan segera mengecek wilayah itu. Hal serupa akan dilakukan apabila masih ada laporan penggunaan cantrang di wilayah-wilayah lain. ”Seperti disampaikan Presiden, memang ada transisi yang harus kita dekati dengan hati,” ujarnya.
Menurut Susi, KKP akan terus mengawal harapan Presiden, yakni laut sebagai masa depan Indonesia. Oleh karena itu, tiga pilar utama, yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, menjadi hal yang paling utama.
Pertemuan ditutup dengan foto bersama. Beberapa nelayan bahkan melanjutkan upaya menyampaikan aspirasi kepada Presiden.