JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi menjanjikan kestabilan harga lantaran tidak terpengaruh pergerakan harga minyak mentah atau batubara. Namun, pengembangan panas bumi menjadi listrik masih menghadapi berbagai kendala. Harga jual tarif listrik panas bumi juga dia kali lebih mahal ketimbang tarif listrik dari pembangkit berbahan bakar batubara.
Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTB) di Indonesia sampai akhir 2017 sebesar 1.808,5 megawatt (MW). Padahal, potensi tenaga panas bumi di Indonesia diperkirakan sebesar 28.500 MW. Tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas terpasang bertambah menjadi 2.058,5 MW.
Anggota Dewan Energi Nasional Abadi Poernomo mengakui, dari sisi tarif, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) jauh lebih mahal ketimbang listrik dari pembangkit berbahan bakar batubara (PLTU). Namun, kata dia, PLTP punya keunggulan yang tidak dimiliki pembangkit listrik dari energi fosil, yaitu bebas dari pengaruh pergerakan harga minyak mentah maupun batubara. Pasalnya, panas bumi bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan.
"Dari sisi investasi, PLTP butuh 5-6 juta dollar AS per megawatt, sedangkan PLTU kurang dari 2 juta dollar AS per megawatt. Padahal, marjinnya sama. Hanya saja, bisnis PLTP lebih stabil karena tidak terpengaruh pergerakan harga minyak mentah dan harga batubara," kata Abadi di sela-sela acara Indonesia Geothermal Community Gathering, Selasa (8/5/2018), di Jakarta.
Dalam daftar perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA) sepanjang 2017, harga jual tenaga listrik panas bumi di Sumatera Selatan sebesar 11,76 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Di lokasi yang sama, harga jual tenaga listrik mikrohidro sebesar 6,6 sen dollar AS per kWh. Total ada 70 PPA yang ditandatangani antara pengembang dan PLN dengan kapasitas terpasang mencapai 1.214 MW.
Selain itu, lanjut Abadi, PLTP tidak menghasilkan gas buang dibandingkan dengan PLTU yang membakar batubara. Apalagi, dunia mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah terhadap lingkungan dan berkelanjutan. Adapun mengenai tarif listrik PLTP, selama unsur keekonomian terpenuhi, pengembangannya akan terus dilakukan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, dibanding sumber energi terbarukan lainnya, seperti tenaga bayu atau surya, pengembangan panas bumi lebih diprioritaskan. Target investasi sektor energi terbarukan tahun ini sebesar 2,01 miliar dollar AS, sekitar 60 persen datang dari pengembangan panas bumi.
"Dalam portofolio saya, pengembangan panas bumi adalah yang pertama. Berikutnya adalah tenaga hidro dan bioenergi," ujar Rida.
Kendala pengembangan
Direktur Panas Bumi pada Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari, mengatakan, pengembangan panas bumi kerap menghadapi penolakan dari masyarakat. Ada stigma di masyarakat bahwa pembangunan PLTP selalu merusak hutan. Padahal, PLTP sangat bergantung pada kelestarian hutan.
"Yang perlu dilakukan pengembangan, bersama pemerintah tentunya, adalah menyosialisasikan ke masyarakat mengenai pengembangan panas bumi menjadi listrik. Selain itu, masyarakat sekitar lokasi pengembangan panas bumi harus dilibatkan," kata Ida.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi menambahkan, secara teori, pembangkit panas bumi membutuhkan ketersediaan air di dalam tanah dalam jumlah besar. Tanpa air, uap panas bumi tidak akan pernah bisa dihasilkan. Oleh karena itu, kelestarian hutan menjadi prioritas pembangunan PLTP di mana pun berada.
Kendala lain dalam pengembangan panas bumi, menurut versi pemerintah, adalah terbatasnya infrastruktur pendukung, seperti jalan dan pelabuhan, di wilayah Indonesia bagian timur. Selain itu, Indonesia masih bergantung pada teknologi yang didapat dari impor. Ketersedian pinjaman dengan bunga rendah di dalam negeri juga turut menjadi kendala pendanaan pengembangan panas bumi.