JAKARTA - KOMPAS - Produk minyak kelapa sawit dinilai lebih produktif dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan energi baru terbarukan di dunia. Tanaman ini dinilai mampu berproduksi di lahan yang relatif lebih sempit dibandingkan tanaman sumber minyak nabati lain.
Diskriminasi terhadap produk minyak sawit oleh negara-negara di Eropa dengan alasan deforestasi juga dinilai tidak relevan. Terkait itu, pemerintah dan pelaku usaha menyatakan terus meyakinkan negara-negara di Eropa bahwa banyak upaya dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan perkebunan dan industri sawit secara berkelanjutan sehingga menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.
Hal itu mengemuka dalam seminar bertema "Tantangan Bisnis Berkelanjutan dalam Meningkatkan Kinerja Ekspor Kelapa Sawit" yang diselenggarakan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dan Harian Kompas di Jakarta, Selasa (8/5/2018). Tampil sebagai narasumber antara lain Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar, Staf Khusus Menteri Perdagangan Lili Lan Ing, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono, dan Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Indonesia (KEIN) Arif Budimanta.
Sebagai pembicara kunci, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah berkepentingan membuat perkebunan dan industri sawit berkelanjutan. Sebab, keberadaannya berkontribusi bagi penyerapan tenaga kerja, pengurangan kemiskinan, dan penerimaan devisa.
Mahendra menyebutkan, tahun 1990-1991, produksi minyak nabati dunia 83,5 juta ton dan kontribusi sawit 14,12 persen. Tahun 2017, produksi minyak nabati dunia 226,2 juta ton dan kontribusi sawit 24,3 persen.
Kepentingan global
Kebutuhan tambahan produksi minyak nabati dunia 30 tahun mendatang diperkirakan 200 juta ton. Butuh setidaknya 20 juta hektar (ha) sawit dengan produktivitas yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan itu. Sementara dengan kedelai, termasuk rapeseed, butuh lebih dari 200 juta ha lahan.
Lahan tanaman penghasil minyak nabati dunia mencapai 277 juta ha dengan total produksi 199 juta ton. Luas lahan kedelai tercatat 122 juta ha, kanola 36 juta ha, bunga matahari 25 juta ha, dan sawit 14 juta ha.(Kompas, 20/3)
Data Kementerian Perdagangan, produksi CPO 65 juta ton dengan produktivitas 4 ton per ha. Sementara produksi minyak kedelai 45,8 juta ton dengan produktivitas 0,4 ton per ha, bunga matahari 15,9 juta ton dan 0,6 ton per ha, serta kanola 25,8 juta ton dan 0,7 ton per ha.
Menurut Lili, minyak sawit harus diperlakukan sama dengan produk minyak nabati lain. Jika ada syarat untuk minyak sawit, syarat yang sama harus diberlakukan untuk minyak nabati lain. Rekomendasi parlemen Eropa yang melarang produk sawit sebagai bahan biodiesel diharapkan tidak diikuti oleh Komisi Uni Eropa (UE) dan Dewan UE.
Dalam negosiasi dengan UE terkait hambatan ekspor sawit, kata Arif, Indonesia perlu melengkapi basis data yang ilmiah. Dengan kekuatan data, Indonesia dapat menunjukkan bahwa sawit bukan hanya terkait kepentingan Indonesia sebagai produsen, melainkan kepentingan global terutama terkait energi baru dan terbarukan.
Selain itu, sawit berkontribusi bagi pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Keduanya merupakan program Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG\'s).
Terkait rekomendasi parlemen UE, kata Mahendra, ada tiga skema yang bisa terjadi. Pertama, penyelesaian permanen yang berorientasi industri sawit yang berkelanjutan sesuai SDG\'s. Kedua, penyelesaian status quo, yaitu pemakaian sertifikasi sukarela untuk Eropa. Ketiga, pelarangan produk sawit di UE diberlakukan sehingga Indonesia perlu menyiapkan skenario terburuk.