BI Yakin Indonesia Mampu Lewati Tekanan
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia yakin Indonesia dapat melewati tekanan dari menguatnya dollar AS yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Bank Indonesia akan terus melakukan intervensi dan tengah mempersiapkan kebijakan moneter yang tegas, termasuk menyesuaikan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate.
Bank Indonesia (BI) menyatakan, pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir merupakan dampak menguatnya dollar AS karena ekonomi AS tumbuh semakin solid. Dampak itu berskala luas terhadap seluruh mata uang, tidak hanya rupiah.
Per 8 Mei 2018, nilai tukar rupiah melemah 3,44 persen. Sementara itu, peso Filipina terdepresiasi 3,72 persen, rupee India melemah 4,76 persen, real Brasil 6,83 persen, rubel Rusia 8,93 persen, dan lira Turki 11,51 persen. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada 9 Mei 2018, nilai tukar rupiah di Rp 14.074 per dollar AS atau terdepresiasi 38 poin atau 0,27 persen dari hari sebelumnya.
Gubernur BI Agus DW Martowardoyo, dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (9/5/2018) malam, mengatakan, dalam lima tahun terakhir, Indonesia sudah mengalami beberapa tekanan yang cukup besar seperti yang saat ini terjadi. Sebenarnya tekanan itu mulai sejak bank sentral AS, The Fed, mengurangi penyaluran dollar ke pasar (tapering) pada 2013.
Ekonomi domestik yang tumbuh stabil dan berkelanjutan menjadi indikator Indonesia akan melewati tekanan itu. Hal itu tecermin dari realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2017 dan trwiulan I-2018 yang tetap stabil, kuat, dan struktur ekonomi yang baik. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2018 yang sebesar 5,06 persen itu merupakan capaian tertinggi di pola musiman triwulan I sejak 2015.
”Pertumbuhan itu didukung investasi yang naik dan konsumsi swasta yang tetap kuat. Sementara itu, kestabilan inflasi tetap terjaga pada level rendah sesuai target tahun ini yang sebesar 2,5-4,5 persen,” katanya.
Menurut Agus, untuk menjaga keberlanjutan pemulihan ekonomi, BI terus menstabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di pasar valuta asing dan Surat Utang Negara (SBN). BI juga membuka lelang Forex Swap untuk menjaga ketersediaan likuiditas rupiah dan menstabilkan suku bunga di pasar uang.
”Kami juga sedang mempersiapkan langkah kebijakan moneter yang tegas dan akan dilakukan secara konsisten untuk memastikan keyakinan pasar dan menjaga stabilitas makroekonomi nasional, termasuk di dalamnya menyesuaikan suku bunga kebijakan BI 7-day Reverse Repo Rate,” katanya.
Ekspor solusi jangka panjang
Dalam diskusi ”Rupiah Gonjang-ganjing, Apa yang Bisa Dilakukan?” yang digelar Radio PASS FM, Jakarta, sejumlah ekonom meminta BI segera menaikkan suku bunga acuan sebagai upaya jangka pendek. Adapun untuk solusi jangka panjang, pemerintah diminta segera memperbaiki struktur pendapatan devisa dari ekspor dan pariwisata.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai BI kurang tanggap terhadap reaksi pasar karena hanya menggunakan cadangan devisa untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal itu akan menggerus cadangan devisa.
”Saya berharap BI segera menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate minimal 25 basis poin. Hal itu tidak akan berdampak signifikan terhadap kenaikan suku bunga kredit bank karena permintaan kredit masih tumbuh lambat,” kata Tony.
BI, kata Tony, memang memiliki perjanjian bantuan fasilitas devisa dari negara lain, seperti Tiongkok, Jepang, China, dan Korea Selatan. Fasilitas tersebut bisa menjadi bantalan bagi cadangan devisa, tetapi belum pernah diaktifkan selama 18 tahun. Selain itu, respons pasar atas penggunaan fasilitas itu pun belum terukur. Untuk itu, BI lebih baik menaikkan suku bunga acuan secara bertahap.
Tony menilai fundamental ekonomi Indonesia memang kuat. Namun tetap ada kelemahan dalam struktur ekonomi nasional, terutama dalam mendapatkan devisa. Selama ini devisa Indonesia masih bergantung pada aliran dana asing jangka pendek atau hot money. Pemilik dana asing itu akan dengan mudah menarik dan memindahkan investasinya ke yang lebih menguntungkan.
Struktur cadangan devisa itu perlu diperbaiki dengan memperbanyak pendapatan devisa dari sektor lain, seperti ekspor dan pariwisata. Ini membutuhkan proses panjang dan komitmen tinggi yang harus dilakukan secara berkelanjutan.
”Kita masih punya pekerjaan rumah yang besar. Masalahnya adalah terlalu banyak hot money mendominasi pendapatan devisa negara. Ini sudah dibicarakan dari tahun 1995. Jadi, bagaimana caranya mengubah hot money itu menjadi investasi langsung jangka panjang dan produktif,” katanya.
Sementara Head of Economic and Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja juga meminta BI menaikkan suku bunga acuan sebagai solusi jangka pendek. Dia juga optimistis Indonesia memiliki ketahanan ekonomi domestik yang lebih baik dalam menghadapi tekanan saat ini.
Kendati rupiah terdepresiasi sebesar 3,3 persen sepanjang tahun ini, nilai tukarnya masih lebih baik ketimbang rupee India dan ringgit Malaysia. Ketahanan ekonomi Indonesia sudah lebih baik dan teruji dibandingkan 10 tahun lalu.
”Hal itu tecermin dari kenaikan peringkat utang jangka panjang Indonesia. Cadangan devisa juga naik sejak triwulan III-2016. Namun, pendapatan devisa dari sektor lain, seperti ekspor, pariwisata, dan remitensi, perlu terus didorong secara berkelanjutan,” kata Enrico.