Inovasi Uang Elektronik Diharapkan Selaras Regulasi
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik akan memberi arah baru bagi pemain industri teknologi finansial kategori pembayaran. Harapannya, segala inovasi yang dikembangkan tetap selaras dengan isi peraturan.
Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia M Ajisatria Suleiman, Rabu (9/5/2018), di Jakarta, mengatakan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik memberikan kejelasan bagi industri, terutama mengenai perizinan.
”Sekitar 24 perusahaan teknologi finansial kategori pembayaran sudah mengajukan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) kepada Bank Indonesia (BI). Mereka adalah anggota asosiasi dan menjalankan kegiatan baik masuk kategori PJSP front end ataupun back end. Hanya saja, sampai sekarang, izin mereka belum keluar,” ujar Ajisatria.
Menurut dia, dengan dikeluarkannnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2016, masalah tertundanya izin keluar yang dialami 24 perusahaan itu segera selesai.
Sebelumnya, BI merevisi pengaturan industri uang elektronik yang berkembang pesat, baik sisi bisnis maupun inovasi teknologi digital. Inti pengaturan mencakup kepemilikan, modal dan dana mengendap, serta transaksi lintas negara. Semua hal itu terangkum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 yang diundangkan tanggal 4 Mei 2018.
Mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, kelompok front end terdiri dari kegiatan penerbit, acquirer, penyelenggara gerbang pembayaran, dompet elektronik, dan transfer dana. Adapun kelompok back end meliputi kegiatan prinsipal, penyelenggara switching, kliring, dan penyelesaian akhir.
Terkait porsi kepemilikan asing, peraturan itu mewajibkan persentase maksimal 49 persen. Dengan demikian, porsi saham lokal tetap dominan.
”Kalau mengenai arahan kepemilikan asing, saya rasa perusahaan teknologi finansial kategori pembayaran mana pun akan mengikuti BI,” kata Ajisatria.
Beragam layanan
CEO Telkomsel Cash (TCash ) Danu Wicaksana menjelaskan bahwa TCash masuk kategori penerbit uang elektronik. Saat ini, pelanggan bisa menggunakan TCash untuk mengakses beragam layanan, antara lain pembelian pulsa, pembayaran aneka tagihan, dan pengiriman dana antarsesama pengguna. Di luar itu, TCash dapat dipakai untuk remitansi dan donasi digital.
Jumlah pelanggan TCash mencapai lebih dari 20 juta orang. Rata-rata volume transaksi sebanyak 10 juta setiap bulan.
Danu mengemukakan beberapa rencana pengembangan layanan menggunakan TCash. Sebagai contoh, pembayaran jasa transportasi umum, pembelian produk asuransi, dan pengajuan pinjaman.
Dia enggan menyebutkan nilai transaksi ataupun volume dana yang mengendap (dana float) di TCash. Menurut dia, saat ini, seluruh dana yang disetorkan oleh pelanggan disimpan dalam bentuk rekening giro atas nama PT Telkomsel di bank kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4. Dana ini hanya dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan transaksi pelanggan dan pembayaran ke mitra pedagang.
Terkait Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, dia menuturkan bahwa TCash mendukung peraturan itu dan siap mematuhi segala arahan yang diwajibkan. Misalnya, kenaikan minimum modal disetor, alokasi penyimpanan dana mengendap, dan pengawasan berkala.
”Kami juga akan melaksanakan audit internal dan eksternal bersama auditor independen sehingga prinsip tata kelola yang benar konsisten terlaksana,” tutur Danu.
Head of Public Policy and Government Relations Tokopedia Sari Kacaribu mengatakan, pelanggan antusias memanfaatkan TokoCash (dompet elektronik Tokopedia) untuk bertransaksi, menerima uang pengembalian hasil belanja, dan cashback. Hingga sekarang, ketiga jenis kegiatan ini semakin diminati.
Dia menceritakan, sejak 13 September 2017, fitur isi ulang TokoCash dihentikan sementara sesuai arahan BI. Tokopedia masih terus berkonsultasi dengan BI terkait perizinan uang elektronik.
Kami menginginkan lebih banyak konsumen Tokopedia bisa bertransaksi elektronik.
Ekosistem industri teknologi finansial pembayaran terus tumbuh. Hal ini ditandai munculnya industri dari sektor lain yang mendukung langsung.
Sebagai contoh, Moka, perusahaan rintisan yang menyediakan layanan point-of-sale (POS) berbasis penyimpanan komputasi awan atau cloud. Awal pekan ini, Moka mengumumkan bentuk kerja sama terbaru dengan tiga perusahaan uang elektronik, yaitu OVO, TCash, dan DANA. Kerja sama ini membuat Moka menjadi penyelenggara point-of-sale pertama di Indonesia yang menyediakan sistem pembayaran lengkap dan mudah bagi pedagang dalam satu platform.
Vice President of Marketing Moka Bayu Ramadhan menjelaskan bahwa Moka menjalankan kegiatan usaha fasilitator sistem pembayaran. Selain aplikasi point of sales, Moka terus mengembangkan beberapa fitur layanan, misalnya program loyalitas pelanggan dan manajemen stok barang.
”Untuk saat ini, kami belum memiliki lisensi izin yang spesifik. Dalam waktu dekat, kami akan bertemu OJK untuk berdiskusi mengenai layanan kami. Kami ingin langkah integrasi dengan para penyelenggara uang elektronik tetap selaras dengan regulasi,” kata Bayu.
Morgan Stanley dalam laporan Disruption Decode, Indonesia: Digital Disruption (April 2018) menyebutkan, penetrasi uang elektronik di Indonesia diperkirakan mencapai 2 persen pada 2017 (tidak seperti tertulis di harian Kompas edisi 8 Mei 2018). Penetrasi diproyeksikan naik dari 24 persen pada akhir tahun 2027.