JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 89 pemerintah daerah mengingkari hak desa. Tahun ini, daerah tersebut menganggarkan alokasi dana desa di bawah 10 persen sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sudah begitu, masih banyak daerah yang mendikte penggunaannya.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Boediraso Teguh Widodo di Jakarta, Senin (14/5/2018), menyatakan, hingga 4 Mei 2018, terdapat 345 daerah dari 434 daerah penerima dana desa yang telah mengalokasikan dana desa sebesar 10 persen dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH). Sementara 89 daerah lainnya mengalokasikan di bawah ketentuan tersebut.
”Kementerian Keuangan pada bulan ini akan segera menyampaikan surat peringatan kepada daerah-daerah yang belum memenuhi ketentuan tersebut,” kata Boediarso.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa memiliki tujuh sumber pendapatan. Salah satunya adalah alokasi dana desa (ADD) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Untuk itu, pemerintah daerah wajib mengalokasikan ADD paling sedikit 10 persen dari DAU dan DBH yang diterima dari pusat. Ini berbeda dengan dana desa yang kewenangan alokasinya berada di pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Jika daerah tidak memenuhi ketentuan ADD minimal 10 persen tersebut, masih mengacu undang-undang tentang desa, Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan terhadap DAU dan/atau DBH kabupaten/kota yang bersangkutan. Besarnya adalah selisih antara realisasi alokasi ADD dalam APBD dan pagu yang semestinya dianggarkan.
Menurut Boediarso, tidak ada daerah yang sama sekali tidak mengalokasikan ADD. Sebanyak 89 daerah yang belum memenuhi ketentuan tersebut tetap mengalokasikan ADD, tetapi besarnya di bawah 10 persen.
Soal daerah-daerah yang belum memenuhi ketentuan penganggaran ADD, Boediarso menyatakan, disebabkan antara lain karena ada kekhawatiran pemerintah daerah terhadap penggunaan ADD. Pertimbangannya adalah dana yang disalurkan ke desa sudah sangat besar dibandingkan tahun sebelumnya, aparat desa dianggap belum mampu mengelola keuangannya, dan penambahan dana dikhawatirkan akan menimbulkan potensi penyelewengan di desa.
Faktor lain adalah adanya dana APBD yang telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di desa. Pemerintah daerah menganggap desa tidak mau dan tidak mampu melaksanakan pembangunan.
Ada pula faktor lain, seperti ketimpangan pendanaan yang sangat besar antara desa dan kelurahan, kebutuhan pendanaan untuk kegiatan pemilihan umum kepala daerah, pendapatan asli daerah kecil, serta defisit APBD sudah terlalu besar.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, ADD adalah hak desa, bukan kebaikan pemerintah daerah. ADD semestinya menjadi sumber pendapatan yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada desa. Namun kenyataannya, program atau proyek yang dibiayai ADD telah ditentukan pemerintah kabupaten dan kota.
”Selanjutnya, hampir semua pelaksana proyek ADD adalah orang-orang dari luar, mulai dari konsultan perencana sampai kontraktor pelaksana. Semuanya ditentukan pemerintah daerah. Jadi ini bukan lagi model pemberdayaan dan desentralisasi desa. Desa hanya jadi tempat saja,” kata Endi.
Sebagaimana dana desa, menurut Endi, perencanaan dan penggunaan ADD mestinya berbasis desa sehingga mencerminkan kebutuhan dan permintaan layanan publik oleh masyarakat desa. Namun kenyataannya, proses perencanaan ADD bersifat top-down.
”Musrenbang desa dan musyawarah desa yang sekarang disatukan akhirnya hanya menjadi ajang legitimasi proyek yang telah disusun pemerintah daerah. Jadi, yang terjadi bukan program yang diusulkan masyarakat desa, melainkan program supra desa yang dilaksanakan di tingkat desa,” kata Endi.
Untuk itu, Endi mengusulkan agar Kementerian Dalam Negeri selaku pembina pemerintah kabupaten dan kota menata ulang desain kebijakan ADD. Saat ini, tak ada panduan atau standar penggunaan ADD sehingga yang terjadi suka-suka pemerintah daerah. Menjelang pemilihan umum kepala daerah, ADD berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Mulai 2017
Evaluasi terhadap pemenuhan ADD, menurut Boediarso, baru dilaksanakan mulai 2017 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Evaluasi pada awal 2017 menunjukkan, 343 daerah dari 434 daerah kabupaten/kota penerima dana desa telah mengalokasikan ADD sesuai ketentuan. Sementara sisanya sebanyak 91 daerah belum memenuhi ketentuan.
DJPK lantas memberikan surat peringatan. Selanjutnya, 29 daerah menyatakan komitmen untuk memenuhi ketentuan penganggaran ADD. Adapun 62 daerah lainnya tidak memberikan komitmen sehingga dikenai sanksi berupa penundaan DAU September 2017.
Pada Oktober 2017, masih terdapat 40 daerah yang dikenai sanksi penundaan DAU karena tidak juga memenuhi ketentuan penganggaran ADD. Sampai dengan November 2017, masih terdapat 34 daerah yang mendapatkan sanksi penundaan DAU.
Sanksi yang dikenakan pada tahun lalu, menurut Boediarso, baru bersifat penundaan anggaran. DJPPR belum menjatuhkan sanksi pemotongan anggaran. Alasannya adalah bahwa tahun lalu merupakan tahun pertama pengenaan sanksi.
Jika seluruh daerah mengalokasikan ADD sesuai ketentuan, potensinya sangat besar. Berdasarkan data DJPK, ADD ideal di 2015 adalah Rp 33,8 triliun. Adapun untuk 2016 dan 2017, nilainya mencapai Rp 35,5 triliun dan Rp 39,8 triliun. Sementara untuk tahun ini, potensinya mencapai Rp 33,9 triliun.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.