Keberlanjutan dan Kesejahteraan
Negara-negara Eropa cenderung mengkampanyekan secara negatif perkebunan dan industri sawit. Perkebunan sawit, mislanya, dipersepsikan sebagai perkebunan yang rentan terhadap kerusakan hutan atau deforestasi.
Persepsi itu mungkin sudah tak sesuai. Di Indonesia, kasus kebakaran hutan justru turun drastis dalam 2 tahun terakhir.
Berdasarkan laporan kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017, luasan kebakaran lahan dan hutan pada 2015 mencapai 2,6 juta hektar. Namun, pada 2016, lahan dan hutan yang terbakar seluas 438.363 hektar. Luasan itu berkurang lagi menajdi 165.528 hektar pada 2017.
Di balik kampanye negatif itu, terutama yang dilayangkan Eropa, perkebunan dan industri sawit justru memberi dampak positif bagi pembangunan ekonomi.
Dampak tersebut baik dari penerimaan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun pengurangan kemiskinan masyarakat. Sebenarnya, seluruh dampak tersebut merupakan program Perserikatan Bangsa-bangsa, yakni Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal\'s/SDG\'s).
Dari data yang ada, penerimaan devisa dari ekspor produk minyak sawit atau CPO dan turunannya pada 2017 sebesar 22,96 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat dari 2016 yang sebesar 18,21 miliar dollar AS. Sementara, pada 2015, nilai ekspor produk CPO dan turunannya mencapai 18,64 miliar dollar AS dan pada 2014 sebesar 21,10 miliar dollar AS.
Berbeda dengan produk industri, produk CPO yang diproduksi dapat dikatakan hampir tidak menguras devisa dari impor bahan baku. Bahan baku berupa tanaman sawit dan minyak sawit yang diproduksi tersebut melimpah di sejumlah wilayah di Indonesia dengan total produksi sekitar 42 juta ton pada 2017.
Dilihat dari penyerapan tenaga kerja, memang tidak ada angka jumlah tenaga kerja yang pasti. Namun, diperkirakan, jumlah tenaga kerja langsung dari perkebunan dan industri sawit mencapai 5 juta orang. Adapun tenaga kerja tak langsung sekitar 20 juta orang.
Selain dimiliki perusahaan besar yang bermitra dengan petani, perkebunan sawit juga masih banyak dimiliki perorangan atau petani berskala kecil. Untuk meningkatkan pendapatan petani dan pemilik perkebunan berskala kecil, peningkatan produktivitas menjadi kunci.
Saat ini, tingkat produktivitas petani memang masih relatif rendah. Produktivitas petani saat ini sekitar 2 ton hingga 3 ton per hektar. Perkebunan besar atau swasta memiliki produktivitas lebih tinggi, yaitu sekitar 5 ton sampai dengan 6 ton per hektar.
Terkait kondisi itu, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menyampaikan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi itu antara lain peningkatan produktivitas -melalui program penanaman kembali- haruslah menjadi fokus.
Penanaman kembali memang bukan pekerjaan mudah. Diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan, baik petani, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun perusahaan BUMN.
Mengapa? Sebab, dalam program penanaman kembali, petani perlu memiliki akses terhadap bibit sawit yang baik, pupuk, pembiayaan perbankan, manajemen pengelolaan perkebunan yang baik, dan kemitraan dengan perusahaan besar. Dengan demikian, di sisi hulu, terjadi peningkatan dan keberlanjutan produksi sawit tanpa tergantung pada perluasan lahan.
Selain itu, di sektor hilir, peningkatan nilai tambah produk-produk turunan minyak sawit masih bisa terus ditingkatkan dan dikembangkan. Caranya, dengan bantuan teknologi dan riset, termasuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
Melalui peningkatan produktivitas, pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan, dan pengembangan pasar ekspor, maka komoditas sawit dapat tetap menjadi primadona perkebunan. Sawit dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja. Pada akhirnya, sawit bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.