Moses Jigibalom Urus Kopi yang Telantar
Harapan orangtua bagaikan magnet bagi jalan hidup Moses Jigibalom (25). Setelah tujuh tahun ditinggal merantau kuliah, sang ayah suatu kali menelepon untuk memintanya pulang. Moses tak mampu menolak.
Namun, harapan itu akhirnya membuahkan hasil. Di lembah-lembah pegunungan Lanny Jaya, Papua biji kopi yang semula tak bernilai, kini harganya terangkat tiga kali lipat. Moses menampung dan mengolah hasil kopi petani. Meski masih dengan cara tradisional, hasil pengolahan membawa nama kopi Tiom di bukit-bukit di pedalaman Desa Bokon, Kecamatan Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, kini dikenal luas hingga berbagai wilayah Papua, mulai dari Wamena, Timika, hingga Jayapura.
Biji gabah petani pun kini dihargai Rp 30.000 per kilogram. Bandingkan dengan harga gabah di pasaran setempat pada umumnya hanya Rp 9.000.
Perubahan itu di luar dugaan. Kopi Tiom selama ini nyaris terlupakan. Sebagian besar petani belakangan lebih senang menanam ubi.
Moses sendiri tak mengira dirinya akan pulang kampung untuk mengurus kopi. Sebab, usaha sablon kaosnya di Kota Malang, Jawa Timur, sebenarnya tengah berkibar. Usaha itulah yang menutupi sulitnya keuangan selama masa kuliahnya. Setelah lulus, ia bahkan berencana membuka anak bisnis di tempat lain. Namun, panggilan sang ayah ;ewat telepon itu terus terngiang-ngiang.
Teteh (bapak) sudah pensiun. Mama juga sudah tua. Mereka butuh saya.
Moses akhirnya memutuskan pulang. “Teteh (bapak) sudah pensiun. Mama juga sudah tua. Mereka butuh saya,” katanya, saat ditemui Maret lalu, di kebun kopinya.
Kebun ini terletak di pucuk sebuah bukit di pedalaman Desa Bokon, Kecamatan Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Moses sadar, pulang kampung berarti meneruskan usaha orangtua berkebun. Sang ayah, Piet Jigibalom, adalah petani kopi.
Luas lahan kopinya satu hektar. Namun, berkat perawatan telaten, tanaman tumbuh subur. Sejak mengikuti program percontohan tanam kopi bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), hampir 30 tahun silam, ayahnya memang satu-satunya petani yang sukses membudidayakan kopi. Kemampuan itu lalu diturunkan pada Moses muda.
Sejak Moses masih remaja, Piet telah membawa bersamanya di kebun untuk merawat tanaman. Selalu ditanamkan kepadanya bahwa memangkas dahan sangatlah penting. Tujuannya agar tiap cabang dapat berbuah lebat.
Ia diajari memanen yang benar, yakni memetik buah merah. Begitu pula pengolahan pasca panennya, mulai dari pengupasan, fermentasi, penyortiran, hingga penggilingan kopi. Semua ilmu yang didapatkan sang ayah dari para pendamping BPPT itu diturunkan kepada Moses muda. Berdua, mereka rutin mengelola kopi.
Pada saat hamparan kopi di tempat lain telantar karena petani lebih tertarik menanam petatas (ubi), Piet dan Moses pun tetap bertahan dengan kopi. ”Kopi yang kita hasilkan luar biasa. Buahnya benar-benar hebat,” kata Moses menirukan ucapan sang ayah kala itu.
Kata-kata itu menyemangatinya untuk bertekun pada kopi. Keyakinan sang ayah akan kopi akhirnya membawa Moses kembali ke kampung halaman. Usaha sablon dititipkan kepada seorang kawan. Ia lalu kembali ke Tiom, membawa sebuah mesin giling kopi. Mesin yang dibelinya sewaktu tinggal Kota Malang itu digunakan untuk mewujudkan mimpinya memiliki sebuah kedai kopi.
Angkat kopi
Moses ingin mengangkat kopi tak sekadar sumber penghidupan keluarganya. Ia bertekad menjadikan kopi sebagai sandaran ekonomi bagi masyarakat setempat.
Potensi kopi begitu besar di Kabupaten Lanny Jaya, yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Hamparannya mencapai lebih dari 800 hektar. Namun yang terjadi banyak kopi telantar. Tanaman tumbuh tak terurus. Pohonnya menjulang tinggi karena tidak pernah dipangkas. Buahnya kecil-kecil, lagi pula jarang dipanen. Buah-buah itu terbuang sia-sia.
Moses pun mendatangi para pemilik kebun. Ia mengajak petani merawat kembali tanamannya. Kerap ia tawarkan diri untuk membantu mereka memanen buah kopi di kebun. Setiap kali datang, ia ajari mereka soal cara memangkas dahan dengan benar serta cara memilih buah panen. Hanya buah merah yang boleh diambil.
Kalau kakak malas panen, panggil saja saya. Nanti saya datang ke kebun untuk bantu panenkan kopinya.
Kerap ia dapati petani malas memanen buah. Moses pun berinisiatif memanenkannya. Mubajir jika buah-buah merah kopi terbuang begitu saja. “Kalau kakak malas panen, panggil saja saya. Nanti saya datang ke kebun untuk bantu panenkan kopinya,” katanya.
Moses mengerti bahwa petani meninggalkan kebun kopi bukan semata malas. Hasil kopi memang tak sebanding dengan proses pengolahannya. Kerja keras petani dinilai dengan harga yang terlalu murah. Satu kilogram biji gabahnya di pasar hanya berharga Rp 10.000 per kilogram. Padahal, jika sudah menjadi biji beras kopi (green bean) dan dijual ke kedai-kedai di pusat Kota Jayapura, ibu kota Papua, harganya menjadi Rp 120.000. Jika sudah disangrai dan digiling menjadi bubuk, harganya bertambah mahal. Hampir dua kali lipat dari biji beras.
Melihat kondisi itu, Moses bertekad mengolah sendiri hasil kopi, mulai hulu hingga hilir. Dari buah merah hingga menjadi biji beras dan bubuk kopi.
Berbagi tugas
Bersama sang ayah, Moses berbagi tugas. Piet mengurus kebun. Sedangkan Moses mengolah hasil kopi dari kebun. Buah kopi dikupas tradisional. “Tidak pakai mesin. Begini sudah,” ujarnya, sementara kedua tangan cekatan mengupas buah kopi.
Setelah selesai dikupas, biji gabah basah dicuci dengan air. Sumber airnya dari mata air terdekat. Setelah dijemur, gabah ditumbuk dengan alu. Alat itu biasa mereka sebut toki-toki.
Biji beras dari hasil tumbukan toki-toki kemudian disortir dengan wadah penampih. Cara menyortirnya persis seperti menampih beras.
Selain mengolah hasil panen dari kebun sendiri, Moses juga menampung kopi dari petani sekitarnya. Biji gabah dibelinya dengan harga Rp 30.000 per kilogram, tiga kali lipat dari harga gabah di pasaran.
Ketika pasokan biji gabah dari petani cukup banyak terkumpul, Moses kewalahan. Produksi bubuk kopi melimpah, namun pembelinya terbatas.
Sang ayah semula membantu menjajakan bubuk kopi itu ke kantor-kantor instansi pemerintahan daerah di Lanny Jaya. Bukannya membeli, para pegawai setempat malah lebih banyak meminta. Alasan mereka, kopinya untuk dijadikan sampel. Akhirnya, puluhan bungkus kopi habis tanpa hasil.
Melihat hasil pemasaran dari pintu ke pintu tak optimal, Moses bertekad turun sendiri. Ia pun membuka sebuah kedai kopi sederhana di Pasar Tiom, tahun lalu.
Kedai dari kayu itu berdiri di antara warung makanan, pakaian, serta dagangan sirih dan pinang. Namun, pertama kali beroperasi, hasilnya mengagetkan. Satu hari terjual lebih dari 100 gelas minuman kopi arabika. Padahal, harga kopinya lebih mahal dibandingkan seduhan kopi-kopi instan.
Kalau ingin maju, (petani) harus teguh menjaga tanaman. Begitu sudah…
Demi menjaga selera warga setempat, biji kopi disangrai matang tetapi tak sampai hangus. Beberapa kali ia coba sangrai muda, aroma kopi arabikanya memang lebih menguar. Ada pula sedikit rasa manisnya. Tetapi, dibandingkan rasa yang lembut, kebanyakan orang rupanya lebih suka akan rasa kopi yang tebal. “Kalau kental, kopinya dirasa lebih mantap,” katanya.
Keseriusan Moses merawat dan mengembangkan kopi di Tiom mulai terdengar. Sejumlah pemilik kedai tertarik dan membeli biji beras kopi dari tempatnya. Pasar pun semakin terbuka. Hasil kopinya kini memasok kedai-kedai di Jayapura dan Timika.
Moses meyakini, kopi bisa menjadi andalan petani di Kabupaten Lanny Jaya. Tak salah dikatakan bahwa tempat itu adalah surga di antara barisan pegunungan menjulang. Tempat yang nyaman bagi tumbuhnya kopi. Tetapi, tanpa ketekunan, kopi tetap akan telantar.
“Kalau ingin maju, (petani) harus teguh menjaga tanaman. Begitu sudah…,” ucapnya.
Moses Jigibalom
Lahir: Lanny Jaya, 24 April 1993
Anak: Musa (4)
Pendidikan:
- Kuliah di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Pasundan (2010)
- Transfer Kuliah di Jurusan Administrasi Negara Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Waskita Darma, Malang (lulus 2016)