JAKARTA, KOMPAS — Nilai ekspor mebel dan kerajinan tumbuh melambat dalam satu tahun terakhir. Kecenderungan itu disebabkan beban modal kayu yang digunakan.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, pada 2015 nilai ekspor mebel mencapai 2 miliar dollar AS dan kerajinan berkisar 800 juta dollar AS. Namun, angka tersebut anjlok pada 2016 menjadi 1,6 miliar dollar AS untuk mebel dan kerajinan.
Pada 2017, nilai ekspor dan kerajinan meningkat 4 persen. ”Memang tumbuh, tetapi sangat kecil. Dibandingkan Malaysia dan Vietnam yang pertumbuhan ekspor mebelnya bisa mencapai 15 persen per tahun, Indonesia masih tertinggal,” ujar Abdul saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Abdul menargetkan, pada akhir 2019, angka ekspor mebel Indonesia dapat mencapai Rp 3,6 miliar. Target nilai ekspor kerajinan dapat mencapai Rp 1,4 miliar.
Menurut Abdul, faktor melambatnya pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan yang berbahan dasar kayu terdiri dari biaya logistik, sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), dan impor komponen pendukung. Keduanya dibahas dalam rapat konsolidasi HIMKI yang terdiri atas 5.000 pelaku usaha.
Terkait biaya logistik, Abdul mencontohkan, harga rotan di Pulau Kalimantan atau Sulawesi berkisar Rp 4.000 per kilogram (kg). Namun, sesampainya di Pulau Jawa, harganya meningkat menjadi Rp 16.000-Rp 32.000 per kg.
Impor komponen pendukung memiliki proporsi 10-15 persen dalam modal usaha. Komponen pendukung yang dimaksud dapat berupa mur, sekrup, dan engsel.
Sementara itu, SVLK dapat menghabiskan biaya sekitar Rp 40 juta per tahun per pelaku usaha. ”Menurut kami, SVLK itu tidak perlu dilakukan karena kami menggunakan bahan kayu yang telah diolah dan diverifikasi sebelumnya,” ujar Abdul.