Pertumbuhan Berkualitas
“Jangan tangisi Indonesia; dia bukan Argentina”, begitu jurnalis Bloomberg (edisi 9/5/2018) meyakinkan pembaca mengenai perekonomian Indonesia. Pelemahan rupiah yang sempat menembus Rp 14.000 per dollar AS terjadi akibat penguatan dollar, bukan karena merosotnya kepercayaan di pasar domestik.
Dengan kata lain, kalaupun ada faktor domestik, situasi eksternal lebih besar pengaruhnya terhadap dinamika pasar keuangan. Dana asing yang keluar dan melemahkan indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot di bawah level 6.000, kini perlahan mulai kembali.
Jika dibandingkan dengan negara lain, depresiasi rupiah tergolong ringan. Hingga akhir minggu lalu, rupiah melemah 3,9 persen dibandingkan dengan kinerja awal tahun, sementara India sudah melemah sekitar 19 persen, China 27 persen, dan Argentina 36 persen. Perekonomian Argentina tengah terpuruk, sampai harus minta pinjaman ke Dana Moneter Internasional sebesar 30 miliar dolar AS. Mungkin situasi yang dihadapi Argentina ini mirip situasi kita pada 1998, saat terkena krisis hebat. Kini perekonomian Indonesia terlihat kokoh dan kuat, jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu atau dibandingkan dengan situasi Argentina sekarang.
Kendati secara umum perekonomian kita solid, namun kekhawatiran tetap merebak di pasar domestik. Pertama, meningkatnya aksi teror yang menyadarkan adanya bahaya laten terorisme cukup besar di negeri ini. Kedua, pelemahan nilai tukar yang dikaitkan dengan kinerja pertumbuhan triwulan I yang di bawah ekspektasi pemerintah (5,2 persen) dan konsensus proyeksi ekonom (5,18 persen). Faktanya, pertumbuhan triwulan I-2018 hanya 5,06 persen atau lebih rendah dari pertumbuhan triwulan IV-2017 yang sebesar 5,19 persen. Dengan pencapaian ini, nampaknya target pertumbuhan pemerintah 5,4 persen sepanjang 2018 sulit tercapai.
Harus diakui, kinerja pertumbuhan triwulan I-2018 mengecewakan. Meski begitu, tetap saja ada berita baik yang patut dicatat. Pertama, kendati di bawah harapan, pertumbuhan triwulan I-2018 tetap tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Triwulan I-2017 pertumbuhan 5,01 persen, 2016 sebesar 4,94 persen dan 2015 tumbuh 4,83 persen. Kedua, peran investasi terus meningkat dengan laju pertumbuhan tahunan 7,95 persen. Jika peran investasi bisa terus ditingkatkan, maka pertumbuhan bisa makin solid. Apalagi jika investasi yang dikembangkan berorientasi ekspor, maka persoalan defisit neraca perdagangan akan teratasi. Dengan kata lain, kendati tak tumbuh tinggi sesuai target, namun lebih berkualitas untuk jangka menengah dan panjang.
Majalah the Economist (edisi 12/05/2018) memuat beberapa tulisan mengenai Indonesia yang mengapresiasi upaya Presiden Joko Widodo melakukan transformasi perekonomian. Setelah 20 tahun krisis, kini perekonomian Indonesia diperhitungkan di panggung global. Pertama, karena komitmen pemerintah membangun infrastruktur secara masif dengan cara mengalihkan alokasi subsidi bahan bakar minyak. Kedua, upaya melakukan debirokratisasi untuk mempercepat proses perizinan investasi. Karena kebijakannya, Presiden Jokowi dianggap sebagai salah satu pemimpin dunia yang berhasil memperbaiki situasi, baik politik maupun ekonomi. Jangan remehkan Jokowi, begitu pesan lugas the Economist.
Namun, masalah pokok perekonomian kita sama sekali tak sederhana. Sekarang ini, kita menghadapi dua tantangan pokok, yaitu dalam jangka pendek gejolak di sektor keuangan dan dalam jangka panjang “jebakan pertumbuhan 5 persen”. Presiden Jokowi harus meletakkan dasar yang baik untuk menyelesaikan dua persoalan pokok tersebut, apalagi masa pemerintahannya hanya tersisa satu tahun lagi. Jika dalam satu tahun mendatang tak mampu menyakinkan pemilih, maka Pemilu 2019 akan dipenuhi ketidakpastian. Dampaknya terhadap perekonomian akan sangat penting.
Dengan kinerja pertumbuhan sekitar 5 persen dalam beberapa tahun ke depan, tentu kita khawatir bangsa kita akan masuk dalam jebakan yang lebih besar, yaitu jebakan negara berpenghasilan menengah (middle-income trap). Presiden Jokowi sudah bertekad, setelah serangkaian pembangunan infrastruktur fisik yang masif, kini saatnya melakukan investasi di bidang sumber daya manusia.
Pekerjaan rumah terbesar sebuah bangsa memang membangun manusianya. Sayangnya, membangun manusia, kalaupun arahnya benar, hasilnya baru bisa dirasakan beberapa dekade kemudian atau bahkan satu generasi ke depan. Oleh karena itu, selain menyakinkan arahnya benar, birokrasi terkait harus memiliki visi jangka panjang.
Sejauh ini, sudah diberikan Kartu Indonesia Sehat kepada 92 juta penduduk, 19 juta Kartu Indonesia Pintar, ditambah alokasi pada 10 juta orang miskin. Harapannya, dengan metode pemberian langsung pada target akhir ini, likuiditas akan langsung mengalir ke lapisan paling bawah, sehingga mampu menjadi jaring pengaman. Fokusnya pada penerima langsung agar mampu memperbaiki kualitas hidup mereka, namun secara makro diharapkan akan mengungkit daya beli perekonomian.
Kalaupun investasi pada kualitas manusia tak berdampak pada siklus musiman, yang perlu diyakinkan adalah transmisinya pada jangka panjang sudah sesuai arahnya. Oleh karena itu, agenda besar pemerintah Jokowi adalah mengkonsolidasikan kementerian dan lembaga yang memiliki ruang lingkup langsung pada kualitas manusia, di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Agenda awal paling penting adalah menyinergikan arah strategis, program kerja, hingga alokasi anggaran di setiap kementerian untuk menopang target pencapaian pembangunan inklusif.
Harus diakui, tugas ini sama sekali tidak mudah, membutuhkan kompetensi dan konsistensi tinggi, karena dampaknya tidak instan. Bisa jadi, hal pertama yang harus dilakukan Presiden Jokowi adalah membongkar program kerja kementerian ini. Dibandingkan bidang perekonomian, mereka ini tak pernah berada dalam kilatan perhatian, padahal kontribusinya penting dalam mencapai pertumbuhan berkualitas.