Indonesia Lebih Matang
Dua puluh tahun reformasi membuat Indonesia semakin matang dan lebih berhati-hati dalam mengelola perekonomian nasional. Perubahan struktur dan kebijakan moneter sebagai penopang ekonomi telah dilakukan secara berkelanjutan.
Namun, masih ada hal penting yang menjadi pekerjaan rumah para pemangku kepentingan. Struktur transaksi berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia perlu terus diperkuat kendati masih terkendali atau di bawah ambang batas defisit.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsyah kepada Kompas, akhir pekan lalu, mengatakan, krisis moneter 1998 menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Sebelum krisis itu, BI tidak independen karena berada di bawah kendali Dewan Moneter dan pemerintah.
BI juga dapat menyalurkan kredit atau membiayai program-program pemerintah menggunakan devisa negara. Hantaman krisis 1998 yang menyebabkan rupiah terdepresiasi serta lonjakan harga pangan dan barang membuat pemerintah melepas BI agar independen dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
“Setelah mencari sejumlah kerangka kebijakan moneter yang tepat, pada 2005 BI menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang penuh (free floating),” kata dia.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS selama krisis moneter 1998 membuat BI terus-menerus mengintervensi nilai tukar dengan valas. Utang luar negeri pemerintah dan swasta yang kian menumpuk turut membuat cadangan devisa merosot drastis, hingga saat itu tersisa 22 miliar dollar AS.
Depresiasi rupiah yang diperkirakan akan menopang peningkatan devisa melalui ekspor tidak terjadi. Penyebabnya, harga bahan baku, penolong, dan barang modal impor yang melonjak, sehingga melemahkan industri nasional. Saat itu, industri nasional bertujuan ekspor banyak bergantung pada bahan baku, penolong, dan barang modal impor.
Menurut Nanang, saat ini ekonomi nasional Indonesia semakin tahan uji terhadap gejolak eksternal. Kendati begitu, masih ada pekerjaan rumah besar, yaitu memperbaiki defisit transaksi berjalan yang merupakan komponen neraca pembayaran.
Selama ini defisit transaksi berjalan dibiayai dengan menarik investasi asing langsung (PMA) dan tidak langsung atau melalui portofolio surat berharga negara dan saham. Akan tetapi, kebanyakan PMA kurang berorientasi ekspor.
“Produknya dipasarkan di dalam negeri, tetapi bahan baku, penolong, dan barang modal industri diimpor. Hal itu tidak menghasilkan devisa, tetapi menyedot devisa,” kata dia.
Dari sisi investasi tidak langsung, aliran modal yang masuk ke pasar saham sangat mendominasi, yaitu sekitar 39 persen dari total portofolio. Modal asing ini rentan terhadap gejolak global, karena dapat keluar dari RI sewaktu-waktu.
Kedua hal ini yang perlu diperbaiki agar struktur neraca pembayaran Indonesia semakin kuat. Pemerintah perlu menarik PMA yang berorientasi ekspor dengan sumber bahan baku di dalam negeri dan menumbuhkan industri yang masuk dalam jaring rantai pasok nilai global.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual berpendapat, struktur transaksi berjalan RI harus diperbaiki dan diperkuat. Dana asing -yang masih jadi tumpuan- bisa mudah meninggalkan RI saat terjadi gejolak global. Di sisi lain, RI masih bergantung pada impor barang dan jasa, serta harus membayar dividen dan utang luar negeri menggunakan.
“Untuk mengatasinya, investasi asing langsung yang masuk Indonesia harus berbasis ekspor, bukan investasi yang pada akhirnya menjual produk di pasar domestik. Di sisi lain, perbaikan neraca jasa perlu dilakukan, misalnya dengan memanfaatkan jasa-jasa ekspor-impor dari dalam negeri,” kata David.
Di sektor perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, industri perbankan jauh lebih kuat terhadap tekanan global. Apalagi OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 2/POJK.03/2018 tentang Penetapan Bank Sistemik dan Capital Surcharge yang berlaku 26 Maret 2018. Dengan aturan itu, bank-bank sistemik wajib menambah modal baru untuk memitigasi risiko sistemik yang bisa menyebabkan kegagalan bank.
Dengan menambah modal, kemampuan bank menyerap kerugian meningkat. Jika satu bank rugi besar atau gagal, dampaknya terhadap industri jasa keuangan dapat terminimalisasi.
Teknologi
Perkembangan teknologi berdampak positif terhadap pola perdagangan dunia. Perubahan juga di pasar modal.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio menuturkan, perubahan terjadi pada pasar modal dunia. Pada awal 2006, Euronext membentuk federasi yang menggabungkan Belgia, Belanda, Portugal, Perancis, Irlandia, dan Inggris dengan nilai kapitalisasi saham 3.582 miliar dollar AS pada 2013.
Perubahan juga terjadi pada 2008, yakni bergabungnya National Association of Securities Dealers Automated Quotations (Nasdaq) dengan kelompok bursa OMX asal skandinavia. Di Amerika Serikat, pada 2012, muncul bursa The Investor Exchange (IEX), yang menguasai 2,5 persen pangsa pasar. Pada 2014, perdagangan ekuitas Bursa Saham Hong Kong dan Bursa Saham Shanghai bergabung meningkatkan nilai transaksi.
“Semua sudah berubah, tetapi kita masih bekerja dengan UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 yang sudah berumur 23 tahun,” kata Tito.
UU ini disusun dan dibentuk karena pasar modal Indonesia membutuhkan dasar hukum yang lebih kuat daripada sekadar Keputusan Menteri Keuangan. Hukuman terhadap pelanggaran UU pasar modal cukup ringan. Kejahatan pasar modal semakin variatif dengan hukuman maksimal denda Rp 15 miliar.
Tito mengatakan, payung hukum pasar modal saat ini juga tidak memungkinkan transaksi perdagangan dilakukan pihak selain perusahaan sekuritas anggota bursa. Hal ini menghambat kelahiran investor domestik. Selain itu, di beberapa bursa saham, kontribusi penghasilan dari teknologi, data, dan informasi semakin besar. Sementara, di BEI, sekitar 85 persen masih dari perdagangan saham.
Terkait perbankan, Chief Executive Officer Standard Chartered Bank Indonesia Rino Donosepoetro menilai kondisi perbankan 20 tahun lalu sudah sangat berbeda dengan saat ini. Peraturan perbankan yang dikeluarkan BI dan OJK dianggap komprehensif untuk memperkuat bantalan modal perbankan yang pada dasarnya memiliki tingkat resiliensi yang tinggi.
“Kita lihat tingkat permodalan perbankan di Indonesia saat ini sangat tinggi dan sangat baik dan mungkin paling kuat di regional Asia Tenggara. Meskipun ada tekanan-tekanan eksternal, saya rasa saat ini sudah sampai pada titik yang jauh lebih resilien dan paling kuat,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengungkapkan, saat ini mayoritas bank yang dilikuidasi adalah bank perkreditan rakyat karena akibat pertumbuhannya tak terkendali. Titik lemah BPR, tambah Fauzi, antara lain modal dan memampuan manajemen yang terbatas.
Berdasarkan data OJK per April 2018, ada 1.621 BPR di Indonesia.
Adapun kinerja bank umum dinilai belum berkontribusi maksimal terhadap produk domestik bruto (PDB). “Kalau dilihat rasio kredit perbankan terhadap PDB masih sekitar 35 persen, sementara tiongkok sudah mencapai 115 persen dari PDB mereka,” ujarnya.