JAKARTA, KOMPAS — Rumah tinggal bagi generasi milenial bukan lagi sekadar untuk hunian. Muncul tren generasi milenial atau mereka yang lahir dari era 1980-an hingga 1999 membeli properti untuk investasi.
Demikian paparan Country General Manager Rumah123 Ignatius Untung di Jakarta, Selasa (15/5/2018), terkait hasil survei sentimen properti yang dilakukan situs properti itu pada 13 Maret-27 April 2018. Survei dilakukan terhadap 1.922 responden dari Jabodetabek dan beberapa kota besar lain di Pulau Jawa.
Hasil survei Rumah123.com menunjukkan, ada pergeseran definisi investor properti di kalangan generasi milenial. Meski baru membeli properti untuk kali pertama, milenial sudah menggolongkan dirinya sebagai investor, bukan lagi pembeli pertama.
”Responden milenial sudah cukup sadar bahwa properti memiliki imbal hasil yang bagus. Jadi, meski bukan hunian idamannya, saat mampu membeli sebuah properti, mereka akan berpikir itu sebagai bentuk investasi,” ujar Untung.
Dari hasil survei, 60,32 persen milenial di rentang usia 22-28 tahun mencari hunian sebagai bentuk investasi, sedangkan 39,68 persen belum berencana membeli properti. Sementara itu, 75 persen dari responden milenial dengan rentang usia 29-35 tahun mulai mencari hunian untuk investasi.
Untung menambahkan, muncul tren ketidakmampuan milenial untuk membeli rumah idaman mendorong mereka mencari rumah untuk investasi. Pola pikir pragmatis juga cukup mewarnai keputusan pembelian properti dengan menggunakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Hal ini cenderung terjadi pada masyarakat di golongan penghasilan di bawah Rp 10 juta yang rela membayar cicilan dengan bunga lebih tinggi selama proses pengajuannya tidak terlalu sulit.
”Pola ini menunjukkan semakin banyak orang investasi di properti, bahkan sebelum mereka membeli properti untuk dihuni,” katanya.
Secara terpisah, konsultan properti Colliers International Indonesia merilis, konsumen kelas menengah saat ini menjadi pilar utama pemasaran proyek residensial. Hal ini mendorong sejumlah pengembang di Jakarta menyasar proyek apartemen di kisaran harga Rp 500 juta-Rp 1,5 miliar per unit.
Sepanjang triwulan I-2018, pasokan apartemen baru di Jakarta berjumlah 5.589 unit atau 22 persen dari total suplai tahun ini yang ditaksir mencapai 25.410 unit. Meski demikian, suplai apartemen pada 2018-2020 diperkirakan akan melambat seiring langkah sejumlah pengembang untuk menunda ekspansi proyek baru seiring melambatnya pasar properti.
”Secara umum, investor properti masih cenderung melihat dan menunggu. Investor semakin selektif dan menghindari risiko di tengah perlambatan ekonomi,” kata Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia.
Rumah warisan
Untung mengemukakan, persoalan tempat tinggal masih menjadi isu yang belum teratasi dengan baik. Persoalan kesulitan membayar uang muka atau DP rumah masih menjadi momok bagi masyarakat dari beragam kalangan penghasilan sehingga menunda pembelian rumah. Bahkan, muncul fenomena sebagian penduduk Jakarta masih mengandalkan tinggal di rumah warisan.
Dari hasil sentimen survei, hampir 45 persen penduduk Jakarta tidak tinggal di rumah yang dibeli sendiri. Meski tinggal di rumah yang berlabel milik sendiri, hunian tersebut didapat dari hasil warisan keluarga.
”Mereka yang memiliki penghasilan bulanan, baik di bawah maupun di atas Rp 10 juta, tetap kesulitan membayar DP. Jadi, kurang tepat jika berpikir hanya mereka dengan penghasilan kecil yang kesulitan menyediakan dana untuk pembayaran DP,” kata Untung.
Masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan kesulitan membayar DP karena kurangnya penghasilan. Adapun golongan masyarakat dengan penghasilan di atas Rp10 juta per bulan cenderung kesulitan membayar DP karena ”terlilit" utang, di antaranya utang kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB).