Waspadai Defisit Neraca Perdagangan
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-April 2018 defisit sebesar 1,31 miliar dollar AS atau Rp 18,36 triliun. Hal itu terjadi karena impor meningkat cukup signifikan, terutama pada April 2018, sedangkan ekspor menurun.
Pemerintah perlu mewaspadai defisit neraca perdagangan itu karena mengurangi pendapatan devisa. Ke depan, defisit itu juga berpotensi menekan rupiah yang saat ini tengah melemah terhadap dollar AS.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca perdagangan Indonesia terjadi sejak awal tahun. dalam periode Januari-April 2018, hanya Maret saja yang surplus. Kemudian, pada April, defisitnya semakin besar, yaitu 1,63 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/5/2018), mengatakan, defisit neraca perdagangan terjadi karena kenaikan impor migas dan nonmigas. Dibandingkan dengan Maret 2018, pada April 2018, nilai impor naik cukup signifikan sebesar 11,28 persen menjadi 16,09 miliar dollar AS.
Kontribusi kenaikan impor itu terutama dari barang konsumsi yang naik 25,86 persen secara bulanan, bahan baku/penolong (10,73 persen), dan barang modal (6,59 persen). Impor barang konsumsi yang naik antara lain bawang putih, beras, apel dan pir, serta daging. Adapun untuk impor bahan baku/penolong, yang naik antara lain kedelai dan gandum.
”Kenaikan impor terutama untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan dan Lebaran. Sisi positifnya adalah industri di dalam negeri mulai bergerak sehingga dapat menggerakkan roda ekonomi nasional,” katanya.
Namun, di sisi lain, produk-produk ekspor andalan Indonesia, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, justru turun. BPS mencatat, nilai ekspor CPO dan produk turunannya turun dari 1,38 miliar dollar AS pada Januari 2018 menjadi 1,27 miliar dollar AS pada April 2018. Hal itu terjadi karena ada penurunan permintaan dan fluktuasi harga, kenaikan bea masuk di India, dan kampanye negatif CPO dan produk turunannya di Eropa.
Menurut Suhariyanto, struktur ekspor Indonesia perlu diperbaiki agar produk-produknya bernilai tambah tinggi dan berdaya saing. Substitusi bahan baku impor dengan bahan baku dari dalam negeri perlu terus dilakukan.
Berpotensi tekan rupiah
Ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, pemerintah perlu waspada terhadap defisit neraca perdagangan. Defisit itu dapat memengaruhi pendapatan devisa dan pada akhirnya berdampak pada transaksi berjalan.
Ke depan kalau tidak segera diperbaiki, defisit itu berpotensi menekan rupiah yang saat ini masih mengalami tekanan eksternal. Hal itu pernah terjadi pada 2013, enam bulan setelah neraca perdagangan defisit, rupiah tertekan.
”Jangan sampai Indonesia juga mengalami tekanan fundamental dari dalam negeri mengingat tekanan global masih cukup kuat, baik terhadap rupiah, harga komoditas ekspor utama, maupun permintaan ekspor,” katanya.
Menurut Fithra, penurunan kinerja ekspor terjadi karena deindustrialisasi. Pada 2001, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29 persen, sedangkan pada akhir tahun lalu tinggal 20 persen.
Banyak industri nasional, terutama dari investor asing, yang tidak berorientasi ekspor. Mereka mengimpor bahan baku dan barang modal, kemudian memasarkan hasil produksinya di dalam negeri.
”Persoalan struktural ini perlu dibenahi secara berkelanjutan kendati membutuhkan waktu lama. Susah mencari solusi jangka pendeknya. Namun, solusi jangka menengahnya adalah mengoptimalkan kinerja lembaga pembiayaan ekspor kita untuk mendorong eksportir-eksportir baru dan membuka pasar-pasar baru nontradisional,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengakui, daya asing industri furnitur Indonesia telah merosot. Indeks keunggulan komparatif (RCA) furnitur pada 2010 sebesar 1,16, tetapi pada 2016 turun menjadi 0,8.
Daya saing industri furnitur merosot karena ada berbagai hal dan regulasi yang belum memihak pertumbuhan industri. Hal itu, misalnya, terkait kewajiban verifikasi legalitas kayu (SVLK), tata niaga perdagangan kayu dan rotan yang belum stabil, dan bunga bank yang masih terlalu tinggi.
”Selain itu, bantuan pengembangan desain, pemasaran, dan peningkatan teknologi produksi masih sangat minim dibandingkan dengan negara-negara lain produsen furnitur. Padahal, faktor ini penting untuk meningkatkan nilai tambah produk,” ujar Abdul.