Potensi Pertumbuhan Industri Teknologi Pembayaran Sangat Tinggi
Oleh
A HANDOKO
·3 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS - Potensi pertumbuhan industri pembayaran berbasis teknologi digital di Asia Pasifik sangat tinggi karena transaksi nontunai masih lebih kecil dibandingkan transaksi tunai. Namun, di tengah peluang itu, muncul banyak tantangan, terutama terkait dengan keamanan data nasabah.
Pada 2017, total transaksi pembayaran di Asia Pasifik mencapai 11 triliun dollar AS dengan transaksi berbentuk tunai masih sekitar 6,1 triliun dollar AS atau sekitar 55 persen. Presiden Regional Asia Pasifik Visa Chris Clark menjelaskan, transaksi tunai di kawasan Asia Tenggara jauh lebih tinggi lagi yakni 76 persen dari total transaksi sebesar 1,3 triliun dollar AS pada 2017. ”Dengan transaksi tunai yang masih sangat tinggi, masih ada banyak ruang untuk menumbuhkan transaksi nontunai melalui pembayaran berbasis teknologi,” ujar Clark dalam Visa Security Summit 2018 di Singapura, Rabu (15/5/2018).
Di Asia Pasifik, Australia menempati urutan pertama persentase transaksi tunai yang paling rendah yakni 21 persen dari total transaksi sebesar 600 miliar dollar AS pada 2017. Urutan berikutnya China dengan 47 persen dari total transaksi 4,4 triliun dollar AS, Jepang 68 persen dari total transaksi 2,3 triliun dollar AS, Asia Tenggara 76 persen, dan India 86 persen dari total transaksi 1,1 triliun dollar AS.
Pada 2017, Visa memproses volume transaksi sebesar 1,8 triliun dollar AS yang terkoneksi dengan 900 lembaga keuangan, 12 juta toko di 42 negara. Jumlah kartu kredit yang dilayani mencapai 972 juta kartu.
”Fakta lain menunjukkan bahwa, secara global 7 dari 10 orang yang berbelanja daring, mengaksesnya menggunakan gawai. Ini peluang lain yang terbuka bagi industri pembayaran berbasis teknologi,” ujar Clark.
Vice Chairman – Risk and Public Policy Visa Inc Ellen Richey menuturkan, di tengah peluang industri pembayaran berbasis teknologi itu, ada berbagai tantangan, terutama terkait keamanan data nasabah. ”Tantangan akan makin kompleks karena tulang punggung industri ini adalah kepercayaan konsumen. Namun, kami terus berinovasi dan mengadopsi teknologi yang paling mutakhir untuk menjaga keamanan data nasabah,” ujar Richey.
Selain karena industri itu bertumpu pada kepercayaan nasabah, akan makin banyak transaksi yang terjadi menggunakan perangkat. Pada 2020, diperkirakan akan ada 21 miliar perangkat yang terkoneksi sehingga tantangan menjadi makin kompleks.
Untuk itu, Visa mengembangkan sejumlah upaya untuk mengantisipasi kejahatan siber dan mendeteksi lebih awal berbagai tindakan pihak lain yang akan merugikan nasabah, bank, dan industri pembayaran berbasis teknologi. Itu antara lain dilakukan dengan mengurangi nilai data sehingga kalaupun kartu hilang, data tidak mudah diduplikasi. Upaya lainnya adalah menjaga data dan meningkatkan kesadaran konsumen.
Senior Director, Risk Services Southeast Asia Visa Abdul Rahim menuturkan, keamanan data nasabah menjadi isu penting di Indonensia. Data menunjukkan, dari seluruh kejadian fraud di Indonesia, 87 persen di antaranya terjadi pada transaksi dengan mekanisme tanpa menunjukkan kartu (CNP) pada 2014. Ini misalnya terjadi pada transaksi daring karena konsumen tidak perlu menunjukkan kartu secara fisik pada pengelola toko. Namun, persentasenya meningkat menjadi 89 persen pada 2017.
”Salah satu yang terus kami dorong adalah penggunaan kartu berbasis teknologi chip, bukan lagi magnetik. Dengan kartu magnetik, data pelanggan bersifat statis sehingga mudah diduplikasi,” kata Abdul.
Sejumlah perusahaan juga menyediakan teknologi untuk meningkatkan keamanan data nasabah. Salah satunya adalah EverCompliant yang menyediakan teknologi untuk mendeteksi pencucian uang.
”Pencucian uang untuk berbagai keperluan dan sebab, makin masif. Kami menyediakan teknologi untuk mendeteksi lebih awal gejala pencucian uang,” ujar Director of APAC Sales and Operation EverCompliant Sophia Chen.