JAKARTA, KOMPAS--Pelemahan nilai tukar rupiah akan berdampak pada peningkatan nilai cicilan dan bunga utang luar negeri. Pemerintah diharapkan lebih akurat dalam membaca data ekonomi serta mengoptimalkan penerimaan pajak dan ekspor sebagai sumber alternatif pembayaran utang luar negeri.
Dalam seminar bertema “Menyikapi Polemik Utang Pemerintah Indonesia”, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan meminta pemerintah untuk berhati-hati mengelola utang. “Utang luar negeri perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah, yaitu soal keseimbangan primer yang negatif. Artinya, sebagian bunga utang dibayar bukan dari pendapatan, melainkan utang baru,” kata Anthony di Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Dia menjelaskan, rasio kemampuan membayar utang (Debt Service Ratio/DSR) turut berkontribusi terhadap kurang produktifnya utang luar negeri Indonesia. DSR Indonesia kini sudah menyentuh 25,67 persen. Sementara, rasio pajak baru 10,8 persen, lebih rendah dari sejumlah negara di ASEAN.
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta, Anwar Nasution, berharap pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak dan ekspor untuk memperbaiki keseimbangan primer.
“Pajak harus masuk dan ekspor harus naik. Kalau tidak seperti itu, utang luar negeri tidak akan pernah bisa berkurang karena pemerintah akan mencari utang baru untuk membayar bunga utang lama” katanya.
Rasio pajak yang rendah, lanjut Anwar, membuat negara sulit membiayai beberapa belanja krusial, seperti belanja pertahanan, sosial, hingga pembiayaan utang. Oleh karena itu, Anwar menyarankan pemerintah memperbaiki industri berbasis ekspor.
“Karena ekspor komoditas masih tinggi, maka pelemahan nilai tukar rupiah tidak dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor,” ujarnya.
Mengutip data statistik utang luar negeri Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia per Maret 2018 sebesar 358,7 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkam kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate kemarin, yakni Rp 14.094 per dollar AS, jumlah utang itu setara Rp 5.055 triliun.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman menegaskan, perkembangan utang luar negeri sepanjang triwulan I-2018 masih terkendali. “BI memantau perkembangannya untuk mengoptimalkan peran utang dalam mendukung pembiayaan pembangunan, tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” kata Agusman.