24 Kementerian-Lembaga Dilibatkan di Satgas Pengawasan Tenaga Kerja Asing
Oleh
CAECILIA MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sebanyak 24 kementerian dan lembaga dilibatkan dalam kerja Satuan Tugas Pengawasan Tenaga Kerja Asing. Satuan tugas ini dibentuk agar mempermudah koordinasi apabila terjadi kasus pelanggaran dan pemakaian ilegal tenaga kerja asing.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri, dalam konferensi pers, Kamis (17/5/2018), di Jakarta, mengatakan, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Tenaga Kerja Asing (TKA) menindaklanjuti rekomendasi Komisi IX DPR beberapa waktu lalu. Keberadaannya bertujuan memperkuat peran tenaga pengawas yang ada di masing-masing kementerian/lembaga.
Dia mengemukakan, Peraturan Presiden No 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing bertujuan menyederhanakan proses pengurusan izin penggunaan TKA. Namun, keinginan ini tetap harus diikuti dengan pengawasan yang kuat.
"Pemerintah ingin membangun rezim yang efektif dan efisien. Tetapi, pengawasan kebijakan harus kuat," ujar Hanif.
Satgas Pengawasan Penggunaan TKA akan bekerja selama enam bulan dan akan diperpanjang durasi waktu bekerja mereka. Mereka harus melapor secara rutin hasil pengawasan izin memperkerjakan TKA dan peredaran TKA di Indonesia.
Pimpinan Satgas adalah Direktur Bina Penegakan hukum Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Meskipun Satgas beranggotakan perwakilan 24 kementerian/lembaga, Hanif mengungkapkan bahwa anggaran kerja pengawasan tetap berasal dari masing-masing kementerian/lembaga.
Sesuai data Kemnaker, jumlah pekerja asing berdasarkan izin memperkerjakan TKA (IMTA) berlaku jangka panjang dan pendek mengalami kenaikan selama kurun waktu 2012 - 2017. Data tahun 2012 menunjukkan jumlahnya sebanyak 60.670 orang, tahun 2013 tercatat 70.120 orang, dan pada 2014 sebesar 73.624 orang.
Kemudian, data tahun 2015 menyebutkan jumlah TKA berdasarkan IMTA berlaku mencapai 77.149 orang. Jumlahnya meningkat menjadi 80.375 orang pada 2016. Setahun kemudian, jumlahnya naik menjadi 85.974 orang.
Berdasarkan jenis usaha, Kemnaker mengelompokkan TKA ke dalam sektor jasa, industri, serta pertanian dan maritim. Secara khusus pada 2017, jumlah TKA sebanyak 85.974 orang terdiri dari 52.633 orang bekerja di jasa, 30.625 orang di industri, serta 2.716 orang di pertanian dan maritim.
Peraturan Presiden No 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing pasal 4 ayat (1) menyebutkan, setiap pemberi kerja TKA wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Pasal 5 berbunyi TKA dilarang menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu yang ditetapkan menteri. Kemnaker sendiri melarang TKA menjadi pekerja kasar.
Sebagai ilustrasi selama 2012-2017, para TKA berdasarkan IMTA berlaku menduduki jabatan konsultan, direksi, komisaris, manager, profesional, supervisor, dan teknisi. Khusus tahun 2017, jumlah TKA sebanyak 85.974 orang terbagi ke dalam 12.779 orang konsultan, 15.596 orang direksi, 2.173 orang komisaris, 20.099 orang manager, 23.869 orang profesional, 2.314 orang supervisor, dan 9.144 orang teknisi.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker, Maruli Apul Hasoloan, mengatakan, pihaknya akan melakukan pemetaan daerah beserta jumlah TKA secara lebih mendetil. Harapannya adalah mengetahui daerah-daerah mana yang berpotensi menjadi sasaran tujuan memperkerjakan ataupun penyelewengan kebijakan TKA.
Sepanjang tahun 2016 - 2017, jumlah nota pemeriksaan pelanggaran norma penggunaan TKA di seluruh Indonesia mencapai 1.623 kasus. Jumlah TKA yang direkomendasikan Kemnaker keluar dari lokasi kerja sebanyak 1.030 orang. Adapun jumlah rekomendasi tindakan deportasi ke Ditjen Keimigrasian menimpa 278 orang TKA.
"Satgas akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Koordinasi memudahkan kami memetakan potensi daerah tujuan memperkerjakan ataupun rawan penyelewengan kebijakan TKA," tegas Maruli.
Sekretaris Jenderal Federasi Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit, Indra Munaswar, yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, lemahnya pengawasan merupakan masalah klasik. Persoalan ini mengakar, baik di isu penggunaan TKA maupun pengiriman pekerja migran Indonesia.
Menurut dia, lemahnya pengawasan disebabkan beberapa faktor. Faktor yang biasa disuarakan pemerintah adalah kurangnya tenaga pengawas ketenagakerjaan.
Faktor penyebab lainnya adalah kebijakan otonomi daerah. Dinas-dinas ketenagakerjaan menjadi tidak tunduk langsung kepada Kemnaker. Apalagi, tidak semua kepala daerah memiliki visi mengawasi penggunaan pekerja asing.
Dari sisi regulasi penggunaan TKA, dia memandang ada peluang kurang berpihak terhadap tenaga kerja lokal. Dia menyorot khusus pada Peraturan Presiden No 20/2018. Misalnya, pasal 13 ayat (1) menyatakan, untuk pekerjaan bersifat darurat dan mendesak, pemberi kerja TKA dapat memperkerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama dua hari setelah TKA bekerja.
"Pasal itu tidak menjelaskan rinci pekerjaan yang dikategorikan darurat dan mendesak. Bisa saja, semua jenis pekerjaan dianggap sebagai bersifat darurat dan mendesak, sehingga pemberi kerja lebih mudah memperkerjakan pekerja asing tanpa RPTKA," kata Indra.
Contoh lain yaitu pasal 9 Peraturan Presiden No 20/2018. Isinya yaitu pengesahan RPTKA merupakan izin untuk memperkerjakan TKA. Ini bertentangan dengan penjelasan pasal 43 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa, RPTKA adalah persyaratan untuk memperoleh izin kerja.