JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mengurangi beban devisa impor untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah secara berkelanjutan. Pengurangan beban devisa itu terutama difokuskan pada substitusi bahan pangan dan bahan baku atau penolong yang impornya melonjak signifikan.
Di sektor pangan, swasembada pangan dan kesejahteraan petani perlu dilihat lebih serius. Adapun di sektor industri, bahan baku atau penolong perlu disubstitusi dengan bahan baku dari dalam negeri melalui perkuatan industri hulu.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa kepada Kompas, Kamis (17/5/2018), mengatakan, nilai impor pangan 7 komoditas utama dengan volume impor lebih dari 200.000 ton meningkat, dari 21,7 juta dollar AS pada 2014 menjadi 25,2 juta dollar AS pada 2017. Ketujuh komoditas itu adalah gandum, kedelai, gula tebu, jagung, bawang putih, ubi kayu, dan beras.
Kondisi ini menyebabkan defisit neraca perdagangan tanaman pangan semakin lebar dari tahun ke tahun.
Pada 2015, defisitnya sebesar 9,95 juta dollar AS. Angka ini meningkat menjadi 10,27 juta dollar AS pada 2016 dan 10,85 juta dollar AS pada 2017.
”Defisit neraca perdagangan hortikultura lebih tinggi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015 defisitnya 1,46 juta dollar AS, pada 2016 defisit 1,78 juta dollar AS, dan pada 2017 menjadi defisit 2,23 juta dollar AS,” katanya.
Menurut Dwi, impor pangan yang semakin tinggi dan ekspor yang semakin turun mencerminkan produksi pangan nasional masih bermasalah. Lebih jauh lagi, hal itu mengindikasikan usaha pertanian sudah semakin tidak menarik bagi petani.
Belum teruji
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, swasembada pangan sejauh ini belum berhasil. Data produksi pangan yang selalu menunjukkan surplus masih belum teruji karena impor pangan justru semakin besar.
Menjelang hari-hari besar keagamaan, impor pangan dan bahan baku melonjak signifikan. Jika swasembada pangan telah berhasil, impor bahan pangan seharusnya justru berkurang.
”Impor gandum memang melonjak paling tinggi di antara bahan pangan lain. Namun, yang perlu menjadi prioritas tetap keseriusan swasembada beras, jagung, dan kedelai,” kata Dwi.
Impor lebih besar
Di sektor industri pengolahan, lonjakan impor bahan baku atau penolong cukup signifikan. Padahal, banyak bahan baku atau penolong yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengemukakan, sejak awal tahun impor lebih besar ketimbang ekspor. Kebutuhan impor meningkat cukup signifikan sehingga kebutuhan devisa cukup besar.
Tahun lalu, ekspor Indonesia senilai 168,83 miliar dollar AS. Namun, utang luar negeri Indonesia 375 miliar dollar AS.
”Ini agak rawan bagi Indonesia karena pertumbuhan ekspornya lambat dan kurang ditopang dengan substitusi impor,” katanya.
Kondisi Indonesia tersebut, kata Hariyadi, kalah dengan sejumlah negara di ASEAN. Ekspor Thailand 237 miliar dollar AS, sedangkan utang luar negerinya 150 miliar dollar AS. Adapun Vietnam, nilai ekspornya 215 miliar dollar AS, sedangkan utang luar negerinya 92 miliar AS.
Kedua negara itu mempercepat pertumbuhan ekspor dengan masuk ke rantai pasok nilai global. Thailand dan Vietnam juga berupaya menekan impor melalui substitusi impor dengan mengintegrasikan industri hulu dengan hilir.
Terkait impor barang konsumsi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia Fajar Budiono mengatakan, peningkatan impor produk mainan berbahan plastik selalu terjadi menjelang Lebaran dan liburan sekolah.
”Biasanya banyak permintaan mainan anak-anak di dua momentum tersebut,” kata Fajar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor Januari-April 2018 sebesar 60 miliar dollar AS. Dari nilai itu, sekitar 9,08 persen di antaranya berupa barang konsumsi.
Menurut Fajar, kondisi tersebut sebenarnya menggambarkan peluang bagi pelaku industri di dalam negeri untuk mengisi kebutuhan pasar. Oleh karena itu, industri dalam negeri perlu didukung agar mampu menghasilkan produk bermutu dengan harga kompetitif.
Sementara untuk produk jadi plastik lainnya, seperti stoples, yang biasanya juga meningkat permintaannya jelang Lebaran, menurut Fajar, sudah mulai banyak diisi produk dalam negeri.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto menuturkan, tren kenaikan importasi bahan baku mengindikasikan pergerakan di berbagai sektor industri.